Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

7 Tapol Divonis Makar, Imparsial: Pemerintah Sedang Merasa Terancam

Kompas.com - 18/06/2020, 06:46 WIB
Achmad Nasrudin Yahya,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pihak lembaga pengamat hak asasi manusia (HAM) Imparsial menilai, vonis bersalah terhadap 7 tahanan politik yang unjuk rasa memprotes rasialisme terhadap masyarakat Papua menunjukkan bahwa pemerintah seolah merasa terancam karena menguatnya gerakan politik anak muda di Papua.

"Seiring dengan menguatnya gerakan politik anak muda di Papua, pemerintah merasa terancam dengan kehadiran para generasi muda Papua saat ini," ujar Kordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/6/2020).

Sebanyak 7 tahanan politik itu divonis bersalah karena melanggar pasal makar akibat unjuk rasa yang mereka lakukan. 

Mereka divonis hukuman penjara 10 bulan hingga 11 bulan.

Baca juga: 7 Terdakwa Makar asal Papua Tak Berbuat Kriminal, Amnesty Tetap Anggap Tapol

Menurut dia, vonis bersalah terhadap 7 tapol ini seolah memberi shock therapy untuk anak-anak muda maupun mahasiswa Papua, khusunya mereka yang aktif dalam gerakan menuntut pemenuhan HAM di Papua.

Vonis bersalah ini juga akan memperkuat persepsi bahwa hukum di Indonesia memang rasial.

 

Di sisi lain, Ardi menilai majelis hakim PN Balikpapan mencari jalan tengah dengan memvonis ringan kepada para terdakwa, yakni antara 10 hingga 11 bulan.

Vonis tersebut jauh lebih rendah dari tuntuan jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya yang menginginkan para terdakwa dituntut antara 5 hingga 17 tahun penjara.

"Hakim mencari jalan tengah dengan memvonis ringan. Mengingat, besarnya tuntutan pembebasan terhadap ketujuh tedakwa ini baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri," kata dia.

"Sementara kecenderungan pemerintah saat ini adalah menghukum mereka yang berseberangan atau mengganggu program pemerintah," ucap dia.

Pada sidang putusan di PN Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (17/6/2020), ketujuh tapol Papua divonis melanggar pasal makar.

Majelis hakim menyatakan, para terdakwa terbukti melanggar Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang makar. Mereka juga diharuskan membayar biaya perkara Rp 5.000.

Baca juga: Imparsial Kritik Vonis Makar terhadap 7 Tapol asal Papua

Berdasarkan data Amnesty International Indonesia, rincian vonis ketujuh tapol Papua tersebut meliputi Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni divonis 11 bulan penjara dari JPU 17 tahun dan mantan Ketua BEM Universitas Cendrawasih Fery Kombo divonis 10 bulan penjara dari tuntutan JPU 10 tahun.

Kemudian, Irwanus Uropmabin divonis 10 bulan penjara dari tuntutan JPU 5 tahun dan Hengky Hilapok divonis 10 bulan penjara dari tuntutan JPU 5 tahun.

Lalu, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay divonis 11 bulan penjara dari tuntutan JPU 15 tahun.

Ketua KNPB Mimika Stevanus Itlay divonis 11 bulan penjara dari tuntutan JPU 15 tahun dan Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) Alexander Gobay divonis 10 bulan penjara dari tuntutan JPU 10 tahun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com