JAKARTA, KOMPAS.com - Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang direncanakan pada 9 Desember 2020 dikritik sejumlah koalisi masyarakat sipil karena dianggap terlalu berisiko terhadap kesehatan penyelenggara, peserta, dan pemilih di tengah pandemi Covid-19.
Beberapa persoalan yang disorot koalisi masyarakat sipil, di antaranya mengenai jaminan kesehatan dalam penyelenggaraan, politisasi bantuan sosial Covid-19 yang dilakukan calon petahana, dan anggaran.
Kendati demikian, pemerintah berkukuh pelaksanaan pilkada pada Desember 2020 sebagaimana tertuang dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada.
DPR pun menyetujui keinginan pemerintah dengan alasan bahwa Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tak mempersoalkan rencana tersebut.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaedi mengatakan, tidak realistis jika pemerintah memaksakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada Desember 2020.
Menurut Veri, tidak ada anggaran yang cukup memadai untuk menjamin kesehatan penyelenggara, peserta, dan pemilih di tengah pandemi Covid-19 saat ini.
"Kalau terkait dengan anggaran saja tidak tersedia cukup memadai, maka menurut kami pilkada ini tidak bisa dijalankan. Tidak realistis untuk memaksakan pilkada berjalan di 9 Desember," kata Veri dalam diskusi daring 'Pilkada 2020 Bertaruh Nyawa', Kamis (28/5/2020).
Baca juga: Pelaksanaan Pilkada Desember 2020 Dinilai Tak Realistis
Ia menyarankan KPU dan Bawaslu melakukan asesmen terhadap kesiapan penyelenggaraan Pilkada 2020.
Veri mengatakan, KPU semestinya dapat memilih opsi untuk menunda pilkada hingga tahun berikutnya.
Deputi Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati, juga mendorong pemerintah menunda penyelenggaraan pilkada hingga 2021.
Ia menilai pengendalian Covid-19 di Tanah Air belum bisa dikatakan berhasil, sehingga berisiko tinggi terhadap kesehatan penyelenggara, peserta, dan pemilih
"Ini seolah kita tidak punya pilihan untuk melaksanakan pilkada selain Desember. Kami sudah mengeluarkan petisi online agar pilkada ditunda 2021. Karena rasanya enggak mungkin, risikonya terlalu besar melaksanakan pilkada di Desember 2020," ujar Khoirunisa dalam diskusi yang sama.
Dia mengatakan, banyak potensi persoalan yang mesti jadi perhatian pemerintah ketika merencanakan penyelenggaraan pilkada pada Desember 2020.
Misalnya, pelaksanaan proses verifikasi faktual terhadap calon kepala daerah dan kampanye para calon.
Baca juga: Perludem Desak Pilkada Diundur hingga 2021
Kemudian, pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih serta biaya penyelenggaraan pemilu yang kemungkinan butuh anggaran ekstra untuk jaminan kesehatan.
"Kalau kita bicara pemilu kan tidak hanya hari-H. Di Indonesia tahapan pemilu itu panjang dan kompleks. Secara undang-undang membuat orang berkumpul. Apalagi berdasarkan rapat kemarin tahapan dimulai 15 Juni," ucapnya.
"Jangan sampai pilkada hanya menggugurkan kewajiban lima tahunan," kata Khoirunisa.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya bersama pemerintah dan DPR tidak mungkin lagi menunda jadwal yang telah disepakati.
"Kita tidak mau tarik mundur lagi karena ini sudah menjadi pilihan kita. Bahwa pilkada akan diselenggarakan Desember 2020," kata Arief dalam sebuah diskusi yang digelar secara daring, Kamis (28/5/2020).
Arief mengatakan, pada awal pembahasan pilkada lanjutan pihaknya menawarkan tiga opsi waktu pada pemerintah dan DPR, yaitu pilkada dilanjutkan Desember 2020, Maret 2021 atau September 2021.
Ia mengakui bahwa jika pilkada ditunda hingga September tahun depan, KPU punya lebih banyak waktu untuk melakukan persiapan.
Penundaan selama satu tahun dinilai cukup untuk menyelesaikan pembentukan regulasi, menyelesaikan anggaran, atau bahkan menyelesaikan penanggulangan pandemi.
Namun demikian, Arief menegaskan bahwa pelaksanaan pilkada tak bisa ditunda lagi. Justru Arief menyebut KPU akan segera melanjutkan tahapan pra pencoblosan.
Sebelum sampai pada tahap pemungutan suara, KPU setidaknya butuh waktu 6 bulan untuk menggelar serangkaian tahapan pilkada lainnya.
Baca juga: Ketua KPU: Pilkada Tetap Desember 2020, Tidak Akan Mundur Lagi
"Harus 6 Juni atau kalau terpaksa harus dimampatkan itu paling lambat 15 Juni. Tentu kami lebih senang kalau dimulainya lebih awal," ujar Arief.
"Makanya kemarin ketika ada usulan dari beberapa anggota Komisi II (DPR) agar (pilkada lanjutan) dimulai bulan Juli, KPU tegas mengatakan tidak mungkin dimulai bulan Juli karena akan sangat terlambat," kata dia.
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengatakan, seluruh kritik dan masukan terhadap pelaksaan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 9 Desember 2020 menjadi catatan DPR untuk pemerintah.
Menurut Saan, DPR pun telah menyampaikan berbagai isu yang perlu menjadi perhatian pemerintah ketika menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi Covid-19.
"Ketika kami menetapkan (pilkada) tanggal 9 Desember itu, semua kekhawatiran dan semua masukan yang terkait dengan pandemi ini itu menjadi catatan kita semua," kata Saan saat dihubungi, Kamis (28/5/2020).
Saan menyatakan bahwa kesepakatan DPR dan pemerintah menyelenggarakan pilkada pada Desember 2020 telah didukung pandangan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Ia mengatakan, pemerintah akan memberlakukan protokol kesehatan ketat dalam pelaksanaan pilkada mendatang.
Baca juga: Pelaksanaan Pilkada Saat Pandemi Covid-19 Dikritik, Ini Respons Komisi II DPR
"Gugus Tugas sudah menjawab dan dijadikan bahan pertimbangan tanggal 9 Desember itu. Gugus Tugas mendukung dan tidak mempersoalkan dengan catatan protokol kesehatan Covid-19 ditentukan," ujarnya.
Ia kemudian membandingkan jadwal gelaran Pilkada 2020 dengan Pemilu Amerika Serikat (AS) yang akan dilaksanakan November mendatang.
Menurutnya, jika dibandingkan dengan negara lain yang juga terpapar Covid-19, Indonesia merupakan negara terakhir yang akan melaksanakan pemilihan umum dengan menjadwalkan pada Desember.
"Misal AS, itu kan masif pemilunya, memilih presiden, gubernur, senat, kongres. Ada juga yang bergeser satu bulan saja, tapi tahunnya enggak," kata Saan.
"Setelah kami lihat lebih dari 30 negara, kalau Indonesia (menggelar pilkada) Desember, itu paling terakhir pelaksanaan pilkada di 2020 ini dibandingkan negara lain," tuturnya.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai tak ada alasan yang kuat untuk menunda pilkada pada 2021.
Pihaknya hanya menggeser pilkada dari sebelumnya disepakati pada September menjadi Desember 2020. Menurut dia, tidak ada jaminan jika pada 2021 pandemi Covid-19 akan berakhir.
Selain itu, sejumlah negara pun tetap sukses menggelar pilkada saat pandemi.
"Kalau (pilkada) ditunda tahun 2021, apakah di tahun 2021 ada yang bisa menjamin Covid ini akan selesai? Tidak, belum ada yang bisa menjamin satu pun, bisa menjadi up and down," kata Tito melalui keterangan tertulis, Kamis (28/5/2020).
Baca juga: Mendagri: Jika Pilkada Ditunda 2021, Apa Ada yang Menjamin Covid-19 Akan Selesai?
Tito menyatakan, negara-negara lain tetap mengadakan pilkada pada 2020, tetapi menunda pelaksanaannya agar lebih siap digelar di tengah pandemi.
Menurut Tito, negara-negara yang menggelar pilkada di tengah pandemi, misalnya Perancis dan Korea Selatan.
Tito menambahkan, pelaksanaan pilkada saat ini, dibutuhkan peran dan dukungan pemerintah daerah (pemda) agar dapat berjalan aman dan lancar.
"Nah, ini sehingga kita skenario optimistis jalan, tapi protokol kesehatannya jangan lupa, dibuat sedemikian rupa," papar Tito.
"Sehingga, di tahapan-tahap kritis, pelantikan PPS, pemutakhiran data pemilih door to door, kemudian nanti pada saat kampanye di bulan September, Oktober, November, kemudian pemungutan suara itu protokolnya betul-betul bisa diterapkan,” kata Mendagri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.