TARI lilin dari Minangkabau adalah keindahan sekaligus media pembelajaran untuk meningkatkan kebijaksanaan.
Selama masa wabah Covid-19 ini, rasanya ini adalah waktu yang tepat untuk mengaitkan introspeksi perilaku masyarakat kita dengan tari lilin.
Misalnya, bagaimana asal muasal secara mitologis, makna gerakan meliuk-liuk para penari dengan lilin di tangannya, dan pesan apa yang tersembunyi dalam seni itu.
Jangan lupa alunan musik yang menyertai juga menggoda hati, iringan bunyi akordion, biola, gong, gitar, kenong, kendang, dan tok-tok.
Baca juga: Kemenkes Pastikan Pemeriksaan Sampel Covid-19 Tetap Dilakukan Selama Libur Lebaran
Sungguh perpaduan yang mahligai: gerak, bunyi, dan selarasnya kekompakan. Tidak hanya itu, tarian itu syarat dengan nilai moral yang patut direnungkan.
Syahdan, seorang putri remaja tinggal di istana Minang sedang kehilangan cincin pertunangannya di malam hari. Sang putri menggunakan lilin untuk mencari cincin itu.
Gerakan sang putri tentu bermacam-macam. Dia berdiri, duduk, merunduk, berjalan, jongkok, dan melihat kanan dan kiri. Itulah asal muasal gerakan yang dikembangkan para kareografer.
Tarian berdasarkan usaha pencarian sang putri atas cincinnya dengan bantuan lilin, karena masa itu belum ada listrik, atau senter batu baterei.
Anggap saja selama masa Covid-19, work from home (WfH) yang sudah dua bulan, ini kita kehilangan cincin itu, berupa kebebasan dan ancaman sakit bahkan kematian. Sebagaima sang putri yang galau, kita juga sama.
Jika sang putri gagal menemukan cincin, tunangannya akan marah yang bisa berakibat putus cinta. Jika kita gagal menjaga diri di rumah, virus mungkin akan mampir di banyak kerumunan. Sang putri mencari cincin di malam hari, kita menjaga diri di rumah selama dua bulan.
Itulah situasi saat ini, masa cobaan. Dalam dua bulan ini mungkin kita sudah bosan, dengan hanya bersapa handai tolan di media sosial.
Ingat kita sedang menari lilin. Kita bergerak tapi juga menjaga lilin di tangan. Jelas, tidak bebas sepenuhnya, dan sudah kehilangan kebiasaan dalam sosialisasi di kantor, pergaulan di masyarakat, dan nongkrong di café atau belanja bebas di pasar.
Kita rindu suasana dahulu. Kita mengingingkan suasana normal kembali. Namun, tarian masih berlangsung dan belum usai, lilin masih di tangan jangan sampai padam. Teruslah menari.
Baca juga: China Bersumpah Vaksin Corona Akan Jadi Barang Publik Global
Kita masih dituntut untuk menjaga jarak, virus masih mungkin hinggap di tubuh. Tarian lilin Minangkabau hanya beberapa menit atau sejam saja, sementara tarian akibat corona sudah dua bulan. Semoga cepat berlalu.
Seperti Sang Putri Minangkabau yang kehilangan cincin dan terus mencari dengan lilin, kita pun terus galau.