Pandangan filsuf dan sosiolog Perancis Pierre Bourdieu dapat membantu menjelaskannya lewat teorinya tentang arena yang dikenal sebagai “field theory”.
Inti argumennya adalah bahwa bahwa arena merupakan satu lokus yang memiliki logikanya sendiri yang akan membentuk dan mempengaruhi tindakan sosial dari subyek yang ada di dalamnya.
Karena setiap aktor bergerak menurut logika arenanya masing-masing dan melihat dari sudut pandang arenanya itu, maka tak heran jika mereka melihat dengan cara yang berbeda dan menginternalisasi satu habitus yang berbeda pula.
Dalam hal ini, Bourdieu membagi arena dalam kategori arena akademik, arena politik , dan arena jurnalistik.
Lantas, karena setiap aktor cenderung melihat masalah dalam persepktif mereka yang sempit, maka satu wadah yang bisa menjadi jembatan agar orang-orang yang berasal dari arena yang berbeda-beda itu untuk saling bertemu dan berdialog menjadi penting.
Meminjam ide Habermas, dialog merupakan metode untuk menemukan rasio komunikatif. Dialog membangun saling pengertian, menstimulasi pemikiran kritis dan menghadirkan ide-ide baru yang segar.
Pertama-tama untuk merumuskan masalah konsolidasi demokrasi yang kita hadapi dengan dingin, jujur, tanpa tergesa. Termasuk mempertanyakan apa yang kita anggap normal dan tidak normal dalam peradaban politik kita.
Dan benar adanya. dalam Sekolah Demokrasi yang berlangsung selama tiga hari dari mulai 15-17 Februari itu, jelas ada kesamaan di antara para elemen masyarakat dari berbagai latar belakang itu. Mereka sama-sama merasakan keresahan atas proses demokrasi yang sedang berjalan.
Salah satu keresahan kolektif yang muncul misalnya masalah politik uang. Seorang politisi menyampaikan keprihatinannya atas masalah politik uang dalam pemilu.
"Masalah utama demokrasi kita adalah biaya politiknya yang sangat mahal. Banyak orang baik tidak jadi pemimpin dalam pemilu karena tingginya biaya politik. Dalam pemilu apa saja, baik itu legislatif maupun eksekutif,” ujarnya.
Hal ini segera diamini oleh seluruh peserta lain.
Pertanyaannya kemudian, jika semua elemen progresif bangsa ini ternyata muak dengan politik uang, lantas mengapa kita tidak bersama-sama mengakhirinya? Pada momen itu, seorang pemateri yang sekaligus peserta Sekolah Demokrasi, Faisal Basri, membagikan pengalamannya.