Di samping aspek tersebut, perspektif digital-disruptif juga harus menyasar dalam pola mekanisme dalam proses pembentukan kebijakan publik. Rumusan ini cukup penting terlebih di situasi Covid-19 ini. ruang partisipasi dan keterlibatan masyarakat perlu diperluas areanya.
Bila selama ini partisipasi masyarakat diejawantahkan dengan kegiatan rapat dengar pendapat umum (RDPU), seminar dan sejenisnya, ruang-ruang virtual semestinya dapat menjadi kanal baru bagi publik untuk menyampaikan aspirasnya.
Andrzej Kaczmarczky (2010) berpandangan keberadaan digital/internet hakikatnya akan memberi ruang lebih besar bagi publik dalam keterlibatan perumusan kebijakan-kebijakan yang berorientasi publik.
Digital juga dapat menjadi medium tranformasi politik yang otentik untuk menghindari bias media (baik media sosial maupun media konvensional).
Dalam konteks tersebut, tanpa disadari, Indonesia telah menerapkan model pemanfaatan digital sebagai medium penyampai aspirasi publik.
Sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang menyita perhatian publik urung disahkan karena protes keras yang bermaura dari digital (media sosial).
Seperti RUU Permusikan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Pemasyarakatan, RUU KUHP. Sejumlah RUU tersebut urung dibahas atau disahkan karena mendapat penolakan keras dari publik.
Kondisi tersebut, penulis sebut sebagai praktik disrupsi legislasi. Dimana proses legislasi oleh lembaga negara perumus undang-undang (law maker) terdisrupsi dengan keberadaan digital sebagai medium penyampaian aspirasi publik.
Partisipasi masyarakat tidak hanya diwujdukan dengan praktik rapat dengar pendapat umum (RDPU) di gedung parlemen, namun beralih di genganggaman telepon pintar warga negara.
Dalam konteks ini, negara sepatutnya dapat merumuskan aturan yang adaptif dengan keberadaan digital sebagai instrumen penyampai aspirasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik.
Secara formil dan materiil dapat menjamin hak-hak warga negara di satu sisi, serta memastikan praktik tersebut tetap dalam koridor hukum, di sisi yang lain.
Di atas semua itu, transformasi bertata negara dari model konvensional ke model yang berbasiskan digital pada akhirnya telah terjadi sejak satu bulan terakhir ini.
Lembaga-lembaga negara dipaksa bermetamorfosa agar tetap berada dalam situasi “negara dalam keadaan bergerak”, yang artinya negara tetap menjalankan fungsi konstitusonalnya dalam memberikan aspek perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negara di tengah situasi darurat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.