Kabarnya—berkaca pengalaman Wuhan yang cepat pulih---pilihan lockdown paling efektif mengatasi pandemik Covid-19 selain rapid test seperti dilakukan Korea Selatan.
Hanya memang, pemerintah dituntut untuk melakukan kajian cepat, tepat dan terukur melalui perspektif multi disiplin. Seperti kesiapan pangan, stabilitas ekonomi, dampak sosial budaya serta keamanan.
Hal ini juga diamanatkan pada Pasal 49 UU 6/2018. Tentu para ahli baik praktisi maupun teoretisi sangat diharapkan kontribusinya dalam memberikan pertimbangan matang agar pemerintah dapat memutus akurat dalam mematahkan lingkaran persebaran pandemik Covid-19.
Sebenarnya, selain perspektif hukum, pemerintah dapat mengapitalisasi energi demokrasi dengan segala keterbatasannya.
Pertama, optimalisasi transparansi akses informasi. Pemerintah perlu diapresiasi setiap saat mengumumkan pasien yang positif Covid-19 diikuti dengan peta persebaran.
Ini dapat membantu dalam demokrasi agar warga memiliki kepercayaan pada pemerintah untuk mengatasi Covid-19. Tinggal semangat keberlanjutan transparansi dan akses informasi ini perlu terus dirajut.
Kedua, hindari penggunaan bahasa asing. Istilah lockdown, social distancing, work from home dan sebagainya, mungkin familiar di kalangan tertentu. Namun, di masyarakat dengan strata sosial yang belum teredukasi, istilah seperti ini tidak akrab.
Sebaiknya gunakan terminologi regulasi. Seperti karantina, pembatasan sosial. Atau diam di rumah untuk mengganti stay at home. Penggunaan istilah ramah publik harus diikuti pula dengan peningkatan eskalasi edukasi maknanya.