JAKARTA, KOMPAS.com - Sosok Soe Hok Gie identik dengan dunia pergerakan mahasiswa menjelang lengsernya Presiden Soekarno dari kekuasaan.
Namun, sejatinya tak hanya itu. Secara tak langsung, melalui sikap kritisnya terhadap pemerintah, Gie juga merepresentasikan aktivis Tionghoa yang memiliki kecintaan terhadap negerinya, Indonesia.
Gie lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942. Masa-masa aktivismenya dimulai saat ia menjalani studi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) jurusan sejarah.
Gie tercatat aktif di sebuah lembaga Tionghoa bernama Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB).
Baca juga: Kisah Aristides Katoppo, Soe Hok-Gie, dan Evakuasi di Gunung Semeru...
Di lembaga tersebut, Gie menjadi editor dari jurnal yang mereka terbitkan. Jurnal tersebut bernama Bara Eka.
Selain itu, ia bergiat di Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS) dan senat Fakultas Sastra UI. Di organisasi yang diikutinya, Gie aktif mengkritik pemerintah lewat tulisan-tulisannya.
Di LPKB, Gie aktif menulis tentang isu-isu asimilasi antara penduduk Tionghoa dan keturunan suku-suku lainnya di Indonesia.
Sementara itu, di GMS Gie aktif menulis dan mengadakan berbagai seminar untuk memunculkan sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintahan Soekarno.
Baca juga: Seri Jejak Pendaki Semeru: Soe Hok-Gie, Kisah Pendaki dan Gunung Semeru
Puncaknya, melalui Senat Fakultas Sastra Indonesia, Gie dan kawan-kawannya angkatan 1966 turut merancang serangkaian demonstrasi seiring kenaikan harga bahan-bahan pokok karena tingginya inflasi saat itu.
Hingga akhirnya, posisi Soekarno terdesak dan menyerahkan tampuk kekuasaan sementara kepad Soeharto yang kala itu menjabat Pangkostrad melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Lewat berbagai manuver politik, Soeharto pun menjabat Presiden RI menggantikan Soekarno.
Kekuasaan berganti tetapi Gie tetap konsisten menyampaikan kritik kepada Soeharto.
Ia aktif menulis di harian Sinar Harapan dan Kompas untuk melayangkan kritikannya kepada pemerintahan Soeharto.
Mencintai Indonesia dengan naik gunung
Selain dikenal sebagai aktivis politik, Gie juga dikenal sebagai aktivis pecinta alam. Ia kerap mendaki gunung-gunung di Pulau Jawa.
Pangrango menjadi gunung favorit Soe Hok Gie. Ia pun punya alasan tersendri mengapa mendaki gunung-gunung tersebut.
Bagi Gie, mendaki gunung merupakan pengejawantahan kecintaannya terhadap Indonesia.
Baca juga: 17 Desember, Selamat Ulang Tahun Soe Hok Gie!
Kecintaan Gie terhadap Indonesia lewat mendaki berbagai gunung tertulis dalam catatan hariannya yang dibukukan berjudul Catatan Seorang Demonstran.
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung," tulis Gie dalam buku hariannya.
Kecintaan mendaki gunung itu pula yang menjadi akhir hayat Gie. Ia mengembuskan napas terakhirnya di lereng berpasir tak jauh dari puncak Gunung Semeru, Jawa Timur.
Gie dikabarkan meninggal dunia pada 16 Desember 1969 karena menghirup gas beracun di Semeru.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.