JAKARTA, KOMPAS.com – Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay menilai, PDI Perjuangan kurang cermat dalam mencari obat untuk 'penyakit' politik uang dalam pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional daftar terbuka.
Menurut Hadar, mengubah sistem pemilu dari terbuka jadi proporsional daftar tertutup tidak serta merta menghapus praktik politik uang.
Sebaliknya, praktik 'serangan fajar' justru dikhawatirkan hanya akan berpindah dari masyarakat ke internal partai politik.
"Pandangan dengan sistem tertutup politik uang akan hilang, saya kira salah kaprah," ujar Hadar kepada Kompas.com, Selasa (14/1/2020).
"Jangan-jangan tidak juga menjamin politik uang akan berkurang. Bisa jadi cuma sekedar pindah saja dari pemilih ke pengurus parpol," lanjut dia.
Baca juga: PAN Tolak Usulan PDI-P Terkait Sistem Pemilu Proposional Tertutup
Apabila kekhawatirannya benar demikian, maka yang berubah kualitas dari 'serangan fajar' itu sendiri.
"Untuk beli suara mesti disediakan amplop dalam jumlah banyak, sedangkan untuk membeli pengurus parpol, cukup dengan beberapa lembar saja dalam dollar," lanjut Hadar.
Ia mengatakan, mengembalikan sistem pemilu dari terbuka menjadi tertutup dikhawatirkan hanya akan membuat sentralitas dan dominasi pengurus partai semakin besar dalam menentukan siapa kandidat yang akan melenggang ke Senayan.
Salah satu kelemahan sistem pemilu tertutup, yakni akuntabilitas calon anggota legislatif itu sendiri.
Wakil rakyat terpilih dikhawatirkan justru akan lebih tunduk kepada parpol dibandingkan melayani kepentingan masyarakat di daerah pemilihannya.
Baca juga: Ini Syarat yang Harus Dipenuhi jika Ingin Ubah Sistem Pemilu ke Proporsional Tertutup
"Caleg yang disiapkan dan diharapkan terpilih oleh parpol belum tentu menjadi pilihan masyarakat," ujar Hadar.
"Proses kampanye yang seharusnya menjadi ajang para calon menunjukkan kualitas dan sebaliknya bagi masyarakat mengenal calon wakil rakyat mereka menjadi sulit," lanjut dia.
Selain itu, caleg dengan nomor urut bawah cenderung akan malas berkampanye karena merasa potensi keterpilihan mereka kecil.
Demikian halnya dengan caleg yang memiliki nomor urut teratas. Kecenderungan untuk malas berkampanye juga tetap ada karena potensi keterpilihan mereka besar.
Diberitakan, usulan kenaikan parliamantary treshold sebesar lima persen baru-baru ini direkomendasikan PDI Perjuangan melalui Rapat Kerja Nasional (Rakernas).
"Rekomendasi ada sembilan poin, mencakup bagaimana komitmen PDI-P di dalam membumikan ideologi Pancasila, menjaga NKRI kebhinekaan kita, dan juga bagaimana kita bergotong royong bersama," kata Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto usai penutupan Rakernas, Minggu (12/1/2020).
Dari sembilan rekomendasi itu, salah satunya mendorong DPP serta Fraksi DPR RI PDI-P untuk memperjuangan perubahan Undang-Undang Pemilu.
UU Pemilu didorong mengatur mekanisme pemilu kembali menggunakan sistem proporsional daftar tertutup.
Baca juga: Sistem Pemilu di Indonesia Dinilai Belum Jujur dan Adil, Ini Alasannya
Dalam sistem ini, pemilih akan memilih partai dan bukan memilih anggota partai yang mewakili daerah pemilihan.
Ambang batas parlemen juga didorong ditingkatkan dari empat persen menjadi sekurang-kurangnya lima persen.
Selain itu, UU Pemilu juga direkomendasikan untuk memberlakukan ambang batas parlemen secara berjenjang, yaitu persen DPR RI, 4 persen DPRD Provinsi dan 3 persen DPRD Kabupaten/Kota.
"Perubahan district magnitude yaitu 3-10 Kursi untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan 3-8 Kursi untuk DPR RI, serta memoderasi konversi suara menjadi kursi dengan sainte lague modifikasi dalam rangka mewujudkan presidensialisme dan pemerintahan efektif, penguatan serta penyederhanaan sistem kepartaian serta menciptakan pemilu murah," ujar Hasto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.