JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai penangkapan dan penetapan status tersangka terhadap aktivis Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka) Padang, Sudarto, tak memiliki dasar hukum yang kuat.
Pasalnya, menurut Usman, Sudarto memiliki hak atas kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh konstitusi untuk membela kelompok minoritas.
"Sudarto membela hak minoritas agama untuk beribadah. Kebebasan berekspresinya harus dilindungi dan tidak ada dasar untuk penahanannya. Tuduhan ini harus dibatalkan segera," kata Usman dalam keterangan tertulis, Kamis (9/1/2020).
Baca juga: Ancaman Kriminalisasi atas Penangkapan Aktivis Kebebasan Beragama Sudarto
Seperti diketahui, Sudarto ditangkap oleh Polda Sumatera Barat (Barat) terkait unggahannya mengenai pelarangan perayaan Natal di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung.
Unggahan Sudarto di Facebook itu dinilai sebagai ujaran kebencian atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Penangkapan terhadap Sudarto dilakukan oleh Polda Sumbar berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/77/K/XII/2019/Polsek pada tanggal 29 Desember 2019 atas nama Harry Permana.
Sudarto kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Ia disangkakan dengan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 UU ITE.
Menurut Usman, UU ITE sering disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.
Dalam kasus Sudarto, ia menilai ada upaya pembatasan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, ia mendesak agar UU ITE segera direvisi atau dicabut.
"Undang-Undang ITE seringkali dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh pihak berwenang untuk membatasi kebebasan berekspresi," tuturnya.
"Aturan ini multitafsir karenanya harus direvisi atau dibatalkan," kata Usman.
Baca juga: Sudarto Ditangkap Usai Unggah Larangan Natal, ICJR Desak Revisi UU ITE
Usman pun menyinggung soal kasus pelecehan seksual yang dialami Baiq Nuril. Baiq Nuril sempat dijerat UU ITE karena dianggap menyebarkan konten pornografi.
Namun, Baiq kemudian mendapatkan amnesti dari Presiden Joko Widodo.
Usman berharap tak ada lagi kasus serupa di Indonesia karena UU ITE yang multitafsir, sehingga berpotensi mengkriminalisasi kebebasan berekspresi, berpikir, dan beragama.
"Kasus kontroversial lain yang melibatkan UU ITE adalah Baiq Nuril, seorang guru sekolah dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Baiq sekaligus menjadi orang pertama yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus UU ITE," ucapnya.