JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak pemerintah merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyusul ditangkapnya aktivis Pusat Studi Antar-Komunitas (PUSAKA) Padang, Sudarto Toto.
ICJR menilai, Sudarto telah menjadi korban pasal karet dalam UU ITE karena mengkritik soal pelarangan ibadah Natal di Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat.
"ICJR mendorong revisi UU ITE dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2020 dengan memperhatikan agar pemerintah menghapus seluruh pasal pidana yang duplikasi dan berpotensi overkriminalisasi," ujar peneliti ICJR Ari Pramuditya melalui siaran pers yang diterima, Rabu (8/1/2020).
Baca juga: Menag Enggan Komentar Penangkapan Sudarto soal Unggahan Larangan Natal
Desakan revisi ini, kata Ari, karena UU ITE memiliki rumusan tindak pidana yang sangat lentur dan meluas.
Akibatnya, penggunaan pasal-pasal di dalamnya oleh aparat penegak hukum menjadi tidak presisi dan eksesif.
Selain itu, kata dia, agar tidak terjadi polemik berkelanjutan terkait pasal duplikasi, perubahan UU ITE harus sejalan dan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam RKUHP yang juga sedang dalam tahap pembahasan.
"Revisi UU ITE harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE 2008 bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dari pengadilan," kata dia.
"Kemudian revisi UU ITE harus memperjelas mekanisme pengaturan blocking dan filtering konten karena kami memandang bahwa blocking dan filtering konten adalah kewenangan yang memang harus dimiliki oleh pemerintah," ujar Ari.
Baca juga: Mahfud Sebut Polri Tak Tahan Sudarto Terkait Unggahan Larangan Natal
Meski demikian, lanjut dia, batasan konten atau muatan internet, termasuk bagaimana prosedur pembatasan dan mekanisme pemulihannya harus diatur dengan tegas serta jelas.
Jangan sampai UU ITE melanggar kebebasan dan hak asasi manusia.
Adapun Sudarto dianggap telah menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan melalui akun media sosialnya berdasarkan surat pemberitahuan dari Pemerintah Nagari Sikabau.
Surat tersebut berisi bahwa pemerintahan Nagari merasa keberatan atau tidak mengizinkan pelaksanaan kegiatan Ibadah Natal 2019 dan Tahun Baru 2020.
Atas tindakannya tersebut, Sudarto dijerat Pasal 45 A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Baca juga: Duduk Perkara Ditangkapnya Sudarto Terkait Kasus Larangan Natal di Dharmasraya
Penerapan pasal-pasal tersebut itulah yang dinilai ICJR tidak tepat dikenakan kepada Sudarto.
Menurut ICJR, Sudarto hanya mengkritik dugaan pelarangan ibadah Natal di Nagari Sikabau dan bukan menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki.
Sebab, kata dia, Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak dirumuskan sesuai tujuan awal, yaitu mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif.
"Sehingga penerapan Pasal 28 ayat (2) terhadap Sudarto tidak tepat karena unsur 'untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan' tidak terpenuhi," kata Ari.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.