JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016.
Pasal itu melarang seseorang dengan catatan perbuatan tercela mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Perbuatan tercela yang dimaksud adalah judi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, dan berzina.
"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Hakim Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2019).
Baca juga: KALEIDOSKOP 2019: Batalnya Larangan Eks Koruptor Ikut Pilkada hingga Putusan MK
Pemohon dalam perkara ini adalah mantan Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Noviadi.
Ahmad diketahui hanya menjabat selama satu bulan sebagai bupati, karena pada Maret 2016 lalu, ia kedapatan memakai narkoba.
Atas perbuatannya, Ahmad dijatuhi hukuman berupa rehabilitasi selama enam bulan. Ia pun kini hendak mencalonkan diri kembali di Pilkada 2020.
Namun, rencana Ahmad terancam gagal lantaran Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 melarang seseorang dengan catatan perbuatan tercela, termasuk pemakai narkoba, untuk ikut Pilkada.
Melalui permohonan uji materi, Ahmad meminta MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Baca juga: Eks Koruptor Boleh Ikut Pilkada, Johan Budi: Sudah Cacat Moral, Harusnya Dilarang
Dalam berkas permohonannya, Ahmad berargumen, setelah ia selesai menjalani proses rehabilitasi, dirinya telah terbebas dari ketergantungan narkotika, baik secara fisik, mental, maupun sosial.
Oleh karena itu, Ahmad merasa dapat kembali melakukan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Namun demikian, argumen Ahmad itu tidak sejalan dengan pandangan Mahkamah, karena para hakim menilai bahwa aturan mengenai pemakai narkoba dalam Undang-undang Pilkada sesuai dengan bunyi konstitusi.
"Telah tepat memasukkan pemakai narkotika terhadap perbuatan tercela, sehingga frasa pemakai narkotika dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Pilkada adalah konstitusional," ujar Hakim Anggota MK I Dewa Gede Palguna.
Dalam putusannya, Mahkamah justru menegaskan aturan tentang pemakai narkoba dalam UU Pilkada.
Baca juga: Patuhi MK, PDI-P Tak Akan Usung Eks Koruptor pada Pilkada 2020
Mahkamah menyebut bahwa pemakai narkoba dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, kecuali dalam tiga kondisi.
Pertama, pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat yang bersangkutan. Kedua, mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi.
"Tiga, mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi," ujar Palguna.
Untuk diketahui Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada berbunyi, "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wakil Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (i) tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian."
Pasal tersebut diuraikan lebih lanjut dalam penjelasan yang tercantum di lembaran negara, bahwa yang dimaksud dengan "perbuatan tercela" antara lain judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, dan berzina, serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya.
Mulai 1 Januari 2020, Uni Eropa lewat Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization menggugat Indonesia. Gugatan terkait larangan ekspor bijih nikel. Dengan tegas Presiden Jokowi tak keberatan dengan gugatan tersebut. Menurutnya Indonesia selama ini tidak mendapatkan nilai tambah karena hanya mengekspor bijih nikel mentah selama puluhan tahun. Dalam kesempatan Musrenbang RPJMN di Istana Negara, Senin (16/12/2019), Jokowi sampaikan, "Barang, barang kita, nikel, nikel kita, mau ekspor mau enggak suka-suka kita. Ya, enggak?”. Adapun alasan larangan ekspor mineral mental sejalan dengan upaya hilirisasi agar industri peleburan dan pemurnian atau smelter di dalam negeri bisa berjalan.
Dikutip dari kompas.com Indonesia saat ini tercatat sebagai eksportir nikel terbesar kedua untuk industri baja negara-negara Uni Eropa. Nilai ekspor bijih nikel Indonesia mengalami peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat, ekspor bijih nikel Indonesia naik signifikan sebesar 18% pada kuartal kedua 2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017.