JAKARTA, KOMPAS.com - Larangan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 sempat menjadi wacana sekaligus polemik.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sempat mewacanakan aturan yang melarang eks koruptor maju di Pilkada.
Semula, aturan itu bakal dimuat dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Namun, hingga PKPU itu terbit dan diresmikan, tak ada aturan yang melarang eks koruptor mencalonkan diri di Pilkada.
Tak lama setelahnya, keluar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Putusan MK mengatur mengenai syarat mantan napi ikut Pilkada, termasuk eks napi koruptor.
Berikut rangkumannya.
1. Batal melarang
Komisi Pemilihan Umum resmi menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
Berdasarkan dokumen salinan yang diterima Kompas.com, PKPU tersebut dicatat sebagai PKPU Nomor 18 tahun 2019. PKPU ini resmi ditetapkan pada 2 Desember 2019.
"Iya, (PKPU pencalonan Pilkada) sudah diundangkan," kata Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik saat dikonfirmasi, Jumat (6/12/2019).
Dari sejumlah syarat pencalonan yang dimuat dalam PKPU, tidak satupun syarat yang mengatur tentang larangan mantan narapidana korupsi maju sebagai calon. Padahal, KPU sebelumnya berencana memuat larangan tersebut dalam PKPU ini.
Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h, yang dilarang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya mantan terpidana bandar narkoba dan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
Bunyinya, "bukan mantan terpidana bandar narkoba dan bukan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak".
Bunyi aturan itu sama dengan PKPU sebelum perubahan, yaitu PKPU Nomor 7 Tahun 2017.
Baca juga: Batal Larang Eks Koruptor Maju di Pilkada, Ini Penjelasan KPU
2. Khawatir dipersoalkan
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik mengatakan, meskipun KPU sebelumnya sempat berencana melarang eks koruptor ikut Pilkada, ada sejumlah alasan yang mendasari pihaknya batal memuat larangan itu.
Alasan utamanya, karena KPU ingin fokus pada tahapan pencalonan Pilkada yang sudah berjalan sejak 26 Oktober 2019.
"Karena kita juga sekarang ini kan lebih fokus pada tahapan. Jadi supaya jangan terlalu misalnya menjadi lama," kata Evi.
Evi mengatakan, tahapan demi tahapan Pilkada terus berjalan. Bersamaan dengan itu, KPU harus segera mengeluarkan aturan yang kemudian dijadikan pedoman bagi penyelenggaraan Pilkada.
KPU khawatir, jika ihwal larangan eks koruptor ini terus dipersoalkan, akan membawa dampak buruk bagi tahapan pencalonan.
"Kita intinya fokus kepada tahapan saja. Kalau ini terlalu menjadi dipersoalkan dan lain sebagainya ini kan bisa menggangu tahapan pencalonan," ujar Evi.
Meski batal melarang eks koruptor "nyalon", KPU masih berharap supaya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada direvisi.
Revisi tersebut diharapkan dapat memuat larangan eks koruptor maju di Pilkada, sehingga selanjutnya KPU dapat memuat aturan tersebut dalam PKPU sebagai aturan turunan undang-undang.
"Tetap aja keinginan kita itu sebenarnya jadi larangan, tetapi kan kita tentu berharap itu diatur di UU sehingga nanti memperkuat," ujar Evi.
"Harusnya semua pihak punya keinginan yang sama dengan KPU," lanjutnya.
Baca juga: Batal Larang Eks Koruptor Maju di Pilkada, KPU Dinilai Tidak Serius