Semua alasan ini terkesan masuk akal untuk mengusulkan agar presiden tak dipilih langsung lagi melainkan oleh perwakilan yaitu MPR.
Di mana yang janggal?
Kejanggalannya ada di variabel lain di luar perdebatan soal periode masa jabatan presiden dan mekanisme pemilihannya.
Wacana soal masa jabatan presiden mengemuka setelah isu pelemahan KPK.
Tentu Anda masih ingat soal polemik undang-undang baru KPK yang dianggap melemahkan lembaga anti-rasuah itu.
Ketua KPK Agus Raharjo menyebut, dengan undang-undang baru ini KPK tak lebih dari Komisi Pencegahan Korupsi. Sebab, operasi tangkap tangan tak akan mudah lagi dilakukan. Kewenangan KPK dipreteli.
"Kalau misalkan revisi undang-undang ini lolos, sebetulnya mungkin paling sederhana KPK-nya singkatannya diubah, Komisi Pencegahan Korupsi," ujar Agus saat menjadi pembicara di PUKAT UGM, Senin (11/9/2019) lalu.
Nah, sudahkan Anda menangkap jalan ceritanya?
Kita tahu bahwa melakukan pelanggaran pada pemilihan langsung jauh lebih sulit dibanding kongkalingkong pada mekanisme pemilihan tak langsung.
Jangan dulu bicara soal Presiden.
Cerita soal kongkalingkong antara legislatif dan eksekutif di tingkat daerah adalah kisah yang tak pernah usai. Kota Malang salah satunya. Sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD-nya menjadi tersangka korupsi.
Ada juga kisah Provinsi Jambi yang menyeret Gubernur Milenial Zumi Zola. Ceritanya sama: kongkalikong gubernur dengan DPRD.
Pemilihan tidak langsung oleh MPR tentu saja mekanismenya menjadi jauh lebih sederhana ketimbang pemilihan langsung oleh 190 juta masyarakat Indonesia. Anggota MPR hanya 711 orang.
Potensi masalahnya, dengan “hanya” 711 orang, lebih mudah untuk “mengondisikan” siapa yang akan dipilih oleh MPR.
Masa jabatan 3 periode juga menjadi kontroversial saat dikaitkan dengan birokrasi, kekuasaan, hingga anggaran ribuan triliun yang mengiringi.
Bukan tak mungkin otoritarianisme akan tergoda untuk tumbuh dan berkembang subur dalam 3 periode itu.
Bukankah kita punya pengalaman 32 tahun orde baru. Kita pun kadang lupa pada masa Demokrasi Terpimpin di tahun 1950-1959.
Pertanyaannya kini, akankah kita terlena akan alunan kidung gaduh semata yang memang merupakan keniscayaan negara demokrasi?
Ataukah kita tersentak, bangun, dan sadar, ada bahaya yang terkandung pada utak-atik masa jabatan presiden?
Saya Aiman Witjaksono.
Salam!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.