"Wacana masa jabatan 3 periode untuk presiden bukan dari MPR. Karena ini adalah aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat. Kami enggak punya hak membunuh aspirasi tersebut," ujar Bambang Soesatyo di DPP PKS, Jakarta Selatan, Selasa (26/11/2019).
Apa yang disampaikan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo terkesan ringan. Tapi banyak yang tak menyadari, pernyataan itu mengandung konsekuensi besar pada sistem pemerintahan di negeri ini.
Pro-kontra langsung mencuat. Siapakah yang mengusulkan soal masa jabatan itu pertama kali? Abu-abu...
Namun, siapa yang mengusulkan tak sepenting substansi yang dikandung dalam usulan tersebut.
Saat ditanya siapa yang pertama kali melempar isu ini, Wakil Ketua MPR Fraksi PPP Arsul Sani tak memberi jawaban jelas. Ia mengatakan mendengar usulan ini pertama kali dari Partai Nasdem.
"Tentu ini harus ditanyakan kepada yang melayangkan ini, kan bukan saya yang melayangkan. Ini ada yang menyampaikan seperti ini, kalau tidak salah mulai dari anggota DPR dari Fraksi Nasdem," kata Arsul di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/11/2019).
Saya mencoba mengonfirmasi ke Partai Nasdem. Ketua DPP Partai Nasdem Zulfan Lindan tak menampik bahwa partainya mendukung usulan tersebut. Namun ia keberatan jika dikatakan partainya sebagai pengusul pertama kali.
"Kenapa tidak (jabatan presiden 3 Periode)? Kita punya pak Jokowi yang dinilai berhasil,” ungkap Zulfan kepada saya saat wawancara di program AIMAN yang tayang setiap Senin pukul 20.00 wib.
Apa yang menghawatirkan jika tidak mau berlebihan mengatakan berbahaya dari sini? Adakah udang di balik bakwan?
Barangkali banyak yang tidak menyadari bahwa utak-atik masa jabatan presiden ini tidak berdiri sendiri dalam satu periode waktu.
Mari kita perhatikan.
Bagaimana mekanisme pemilihan periode ketiga? Pemilihannya belum tentu dilakukan langsung oleh rakyat.
Ada usulan yang sempat mengemuka selama beberapa bulan terakhir soal pemilihan presiden tidak langsung.
Alasannya, pemilihan langsung menyebabkan masyarakat terpecah, negara bergejolak dan gaduh tak berkesudahan. Ujungnya, ekonomi yang jadi korban.
Semua alasan ini terkesan masuk akal untuk mengusulkan agar presiden tak dipilih langsung lagi melainkan oleh perwakilan yaitu MPR.
Di mana yang janggal?
Kejanggalannya ada di variabel lain di luar perdebatan soal periode masa jabatan presiden dan mekanisme pemilihannya.
Wacana soal masa jabatan presiden mengemuka setelah isu pelemahan KPK.
Tentu Anda masih ingat soal polemik undang-undang baru KPK yang dianggap melemahkan lembaga anti-rasuah itu.
Ketua KPK Agus Raharjo menyebut, dengan undang-undang baru ini KPK tak lebih dari Komisi Pencegahan Korupsi. Sebab, operasi tangkap tangan tak akan mudah lagi dilakukan. Kewenangan KPK dipreteli.
"Kalau misalkan revisi undang-undang ini lolos, sebetulnya mungkin paling sederhana KPK-nya singkatannya diubah, Komisi Pencegahan Korupsi," ujar Agus saat menjadi pembicara di PUKAT UGM, Senin (11/9/2019) lalu.
Nah, sudahkan Anda menangkap jalan ceritanya?
Kita tahu bahwa melakukan pelanggaran pada pemilihan langsung jauh lebih sulit dibanding kongkalingkong pada mekanisme pemilihan tak langsung.
Jangan dulu bicara soal Presiden.
Cerita soal kongkalingkong antara legislatif dan eksekutif di tingkat daerah adalah kisah yang tak pernah usai. Kota Malang salah satunya. Sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD-nya menjadi tersangka korupsi.
Ada juga kisah Provinsi Jambi yang menyeret Gubernur Milenial Zumi Zola. Ceritanya sama: kongkalikong gubernur dengan DPRD.
Pemilihan tidak langsung oleh MPR tentu saja mekanismenya menjadi jauh lebih sederhana ketimbang pemilihan langsung oleh 190 juta masyarakat Indonesia. Anggota MPR hanya 711 orang.
Potensi masalahnya, dengan “hanya” 711 orang, lebih mudah untuk “mengondisikan” siapa yang akan dipilih oleh MPR.
Masa jabatan 3 periode juga menjadi kontroversial saat dikaitkan dengan birokrasi, kekuasaan, hingga anggaran ribuan triliun yang mengiringi.
Bukan tak mungkin otoritarianisme akan tergoda untuk tumbuh dan berkembang subur dalam 3 periode itu.
Bukankah kita punya pengalaman 32 tahun orde baru. Kita pun kadang lupa pada masa Demokrasi Terpimpin di tahun 1950-1959.
Pertanyaannya kini, akankah kita terlena akan alunan kidung gaduh semata yang memang merupakan keniscayaan negara demokrasi?
Ataukah kita tersentak, bangun, dan sadar, ada bahaya yang terkandung pada utak-atik masa jabatan presiden?
Saya Aiman Witjaksono.
Salam!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.