Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bantahan hingga Tudingan DPR saat Bersaksi di MK soal Gugatan UU KPK...

Kompas.com - 20/11/2019, 06:36 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

Kompas TV Menko Polhukam Mahfud MD menyebut pemerintah masih menimbang opsi Perppu KPK yang disuarakan penentang UU KPK hasil revisi. Beragam pendapat terkait UU KPK hasil revisi telah diterima pemerintah. Termasuk pendapat pihak yang mendorong ataupun yang menentang Perppu KPK. #PerppuKPK #RUUKPK #MahfudMD

DPR dan pemerintah juga telah melibatkan berbagai unsur terkait, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Baca juga: Sejumlah Tokoh Akan Gugat UU KPK ke MK, tapi Tetap Dorong Perppu

Menurut Arteria, rapat paripurna pengesahan UU KPK hasil revisi juga sah secara hukum. Pasalnya, rapat yang digelar pada 17 September tersebut memenuhi kuorum, dengan dihadiri 289 dari 560 anggota DPR.

"Oleh karena itu, opini para pemohon yang menyatakan bahwa jumlah anggota DPR RI yang hadir berjumlah 80 orang atau setidak-tidaknya kurang dari setengah anggota DPR RI adalah opini yang keliru, opini yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya," katanya.

4. Argumen pemerintah

Koordinator Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM, Agus Haryadi, memberikan keterangan dalam sidang uji materil dan formil Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 19 Tahun 2019 hasil revisi.

Agus mewakili Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Presiden Joko Widodo dari unsur pemerintah.

Baca juga: Pegiat Antikorupsi Akan Layangkan JR UU KPK ke MK, Ini Bedanya dengan Gugatan Mahasiswa

Dalam keterangannya, Agus menyampaikan alasan pemerintah dan DPR membentuk dewan pengawas KPK.

Ia menyebut bahwa sebelum UU KPK direvisi, KPK merupakan lembaga independen yang tak terbatas kewenangannya. Hal ini, kata dia, sangat bertentangan dengan hukum.

"Kedudukan KPK sebelum revisi UU KPK yang menempatkan KPK sebagai lembaga independen tak terbatas yang secara fakta tidak dalam ranah legislatif, eksekutif atau yudikatif sangat bertentangan dengan asas trias politica sebagai sumber hukum negara di negara Republik Indonesia," kata Agus.

Agus mengatakan, secara ketatanegaraan, KPK yang tidak dapat dikontrol oleh kekuasaan pemerintahan atau lembaga manapun sangat bertentangan dengan sistem pemerintahan Indonesia.

Baca juga: UU KPK Tak Atur Rangkap Jabatan Dewas, Ini Permintaan KPK ke Jokowi

Sebagaimana bunyi UUD 1945, sudah seharusnya bahwa lembaga-lembaga negara memiliki sistem check and balances sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka.

Sistem check and balances, kata Agus, bertujuan untuk menciptakan lembaga-lembaga yang bekerja dan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan penyelenggaraan negara.

"Munculnya revisi UU KPK dengan memunculkan adanya dewan pengawas, pemerintah dapat mendekatkan dengan norma tersebut telah sesuai berdasarkan sistem pemerintahan indonesia dalam model check and balances yang bertujuan satu sebagai kontrol tindakan pemerintah dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK sebagai institusi pelaskana," ujar Agus.

Agus melanjutkan, dewan pengawas juga sebagai bentuk upaya pemerintah menghindari ketidakepercayaan masyarakat. Sekaligus, menciptakan sistem transpransi dalam upaya pemberantasan korupsi.

Hal ini, kata dia, merupakan kebutuhan bangsa yang tidak dapat terhindarkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com