Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bantahan hingga Tudingan DPR saat Bersaksi di MK soal Gugatan UU KPK...

Kompas.com - 20/11/2019, 06:36 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan gugatan uji materil dan formil Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi.

Gugatan ini sebelumnya dimohonkan oleh 25 advokat yang juga berstatus sebagai mahasiswa pasca sarjana Universitas Islam As Syafi'iyah.

Dalam persidangan yang digelar Selasa (19/11/2019), agendanya ialah mendengarkan keterangan DPR dan Presiden.

Baca juga: Hakim MK Nilai Pemohon Uji Materi UU KPK Tak Serius

Mewakili DPR, hadir anggota Komisi III Fraksi PDI-Perjuangan, Arteria Dahlan. Sedangkan mewakili presiden yang dalam hal ini disebut sebagai pemerintah, hadir Koordinator Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Agus Haryadi sebagai kuasa hukum.

1. Tudingan DPR

Di hadapan majelis hakim MK, Arteria Dahlan mengungkap 'dosa-dosa' KPK yang menjadi latar belakang pihaknya merevisi UU KPK.

Menurut Arteria, belakangan angka tindak pidana korupsi terus meningkat. Tetapi, hal ini tidak diimbangi dengan kinerja KPK yang lebih baik.

"Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari sisi jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara. Namun dalam perkembangannya, kinerja KPK dirasakan kurang efektif," kata Arteria di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa.

Baca juga: Dalam Sidang MK, DPR Bantah Revisi UU KPK Dilakukan Sembunyi-sembunyi

Arteria menuding bahwa banyak terjadi persoalan di internal KPK.

Ia menyebut, pengawasan dan koordinasi di dalam tubuh KPK begitu lemah. Selain itu, terjadi tumpang tindih kewenangan dengan instansi penegak hukum.

Proses penyadapan dinilai bermasalah. Pengelolaan antara penyidik dan penyelidik pun dianggap kurang terkoordinasi.

Belum lagi, banyak terjadi pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan staf KPK. Prosedur penanganan kasus pun banyak yang dinilai berbeda dengan ketentuan hukum acara pidana.

Baca juga: Dalam Sidang MK, DPR Bantah Revisi UU KPK Dilakukan Sembunyi-sembunyi

Dari aspek tata kelola SDM, lanjut Arteria, terdapat permasalahan penanganan pelanggaran kode etik pegawai KPK yang belum bekerja secara optimal.

"Sekalipun dikatakan ada pengawasan keuangan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), pengawasan keuangan sangat tidak efektif. KPK tidak mau mentaati sebagaimana rekomendasi BPK yang ditaati oleh kementerian dan lembaga lain. MK yang kuat begini tunduk sama rekomendasi BPK, KPK enggak yang mulia," ujarnya.

Dalam hal pengawasan, KPK memang seolah diawasi oleh DPR. Tetapi, pengawasan itu dinilai sangat tidak efektif.

Baca juga: MK Minta DPR dan Pemerintah Serahkan Rekaman Rapat Pembahasan Revisi UU KPK

Temuan dan rekomendasi DPR pun ada yang tidak ditindaklanjuti oleh KPK.

"Pengawas internal lebih tajam kepada 'anak kos"', pegawai tidak tetap, tapi agak tumpul terhadap pegawai-pegawai tetap yang sudah 15-17 tahun yang ada di KPK," katanya.

2. Bantah KPK tak independen

Arteria membantah bahwa keberadaan dewan pengawas KPK bakal menjadikan lembaga antirasuah itu tidak independen.

Ia tidak sependapat dengan pafa penggugat yang sebelumnya meminta MK membatalkan UU KPK hasil revisi, karena salah satu pasalnya yaitu Pasal 21 ayat (1) huruf a, mengatur tentang kewenangam dewan pengawas.

"Opini para pemohon yang menyatakan bahwa pengaturan Pasal 21 ayat 1 huruf a UU KPK akan mengganggu independensi KPK dalam melakukan pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi adalah opini yang keliru, opini yang salah, opini yang menyesatkan dan sangat tidak berdasar," katanya.

Baca juga: Digugat Enam Kali, UU KPK Dipersoalkan secara Formil dan Materiil

Menurut Arteria, hadirnya dewan pengawas tidak akan menimbulkan gangguan terhadap independensi dan keabsahan KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Sebab, dewan pengawas bukanlah kekuasaan dalam bentuk instansi atau lembaga eksternal yang berada di luar KPK yang dapat mempengaruhi kinerja KPK.

Dewan pengawas, kata Arteria, secara inheren adalah bagian integral dari tubuh KPK yang bertugas sebagai pengawas guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan.

"Dengan demikian kehadiran dewan pengawas dalam instansi KPK akan memaksimalkan pelaksanaan tugas dan wewenang KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, akan lebih meningkatkan legitimasi KPK dalam konteks pelaksanaan penegakan hukum," ujar dia.

Politikus PDI Perjuangan Arteria Dahlan KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN Politikus PDI Perjuangan Arteria Dahlan

3. Bantah revisi sembunyi-sembunyi

Arteria membantah pihaknya bersama pemerintah melakukan pembahasan revisi Undang-undang KPK secara sembunyi-sembunyi.

Baca juga: Setelah Dua Bulan Disahkan, MK Terima 6 Permohonan Uji Materi UU KPK

Ia menyebut bahwa tudingan pemohon yang menyebut pembahasan revisi UU KPK dilakukan secara sembunyi-sembunyi, adalah tuduhan yang keliru dan sesat.

"Opini para pemohon yang menyatakan pembahasan UU KPK perubahan kedua dilakukan secara tersembunyi, dibahas dalam rapat-rapat tertutup, dalam kurun waktu yang relatif singkat, adalah opini yang menyesatkan, opini yang keliru, opini yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya," kata Arteria.

Arteria mengklaim, pihaknya melakukan pembahasan revisi UU KPK secara terbuka dan transparan.

DPR dan pemerintah juga telah melibatkan berbagai unsur terkait, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Baca juga: Sejumlah Tokoh Akan Gugat UU KPK ke MK, tapi Tetap Dorong Perppu

Menurut Arteria, rapat paripurna pengesahan UU KPK hasil revisi juga sah secara hukum. Pasalnya, rapat yang digelar pada 17 September tersebut memenuhi kuorum, dengan dihadiri 289 dari 560 anggota DPR.

"Oleh karena itu, opini para pemohon yang menyatakan bahwa jumlah anggota DPR RI yang hadir berjumlah 80 orang atau setidak-tidaknya kurang dari setengah anggota DPR RI adalah opini yang keliru, opini yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya," katanya.

4. Argumen pemerintah

Koordinator Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM, Agus Haryadi, memberikan keterangan dalam sidang uji materil dan formil Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 19 Tahun 2019 hasil revisi.

Agus mewakili Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Presiden Joko Widodo dari unsur pemerintah.

Baca juga: Pegiat Antikorupsi Akan Layangkan JR UU KPK ke MK, Ini Bedanya dengan Gugatan Mahasiswa

Dalam keterangannya, Agus menyampaikan alasan pemerintah dan DPR membentuk dewan pengawas KPK.

Ia menyebut bahwa sebelum UU KPK direvisi, KPK merupakan lembaga independen yang tak terbatas kewenangannya. Hal ini, kata dia, sangat bertentangan dengan hukum.

"Kedudukan KPK sebelum revisi UU KPK yang menempatkan KPK sebagai lembaga independen tak terbatas yang secara fakta tidak dalam ranah legislatif, eksekutif atau yudikatif sangat bertentangan dengan asas trias politica sebagai sumber hukum negara di negara Republik Indonesia," kata Agus.

Agus mengatakan, secara ketatanegaraan, KPK yang tidak dapat dikontrol oleh kekuasaan pemerintahan atau lembaga manapun sangat bertentangan dengan sistem pemerintahan Indonesia.

Baca juga: UU KPK Tak Atur Rangkap Jabatan Dewas, Ini Permintaan KPK ke Jokowi

Sebagaimana bunyi UUD 1945, sudah seharusnya bahwa lembaga-lembaga negara memiliki sistem check and balances sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka.

Sistem check and balances, kata Agus, bertujuan untuk menciptakan lembaga-lembaga yang bekerja dan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan penyelenggaraan negara.

"Munculnya revisi UU KPK dengan memunculkan adanya dewan pengawas, pemerintah dapat mendekatkan dengan norma tersebut telah sesuai berdasarkan sistem pemerintahan indonesia dalam model check and balances yang bertujuan satu sebagai kontrol tindakan pemerintah dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK sebagai institusi pelaskana," ujar Agus.

Agus melanjutkan, dewan pengawas juga sebagai bentuk upaya pemerintah menghindari ketidakepercayaan masyarakat. Sekaligus, menciptakan sistem transpransi dalam upaya pemberantasan korupsi.

Hal ini, kata dia, merupakan kebutuhan bangsa yang tidak dapat terhindarkan.

Kompas TV Menko Polhukam Mahfud MD menyebut pemerintah masih menimbang opsi Perppu KPK yang disuarakan penentang UU KPK hasil revisi. Beragam pendapat terkait UU KPK hasil revisi telah diterima pemerintah. Termasuk pendapat pihak yang mendorong ataupun yang menentang Perppu KPK. #PerppuKPK #RUUKPK #MahfudMD
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com