Sistem AI tersebut dapat menyortir ribuan dokumen dalam waktu sangat singkat untuk memberikan referensi hukum yang paling akurat untuk pengacara yang menggunakannya.
Bahkan, beberapa sistem tersebut dirancang dapat terus beradaptasi untuk meningkatkan kualitas rekomendasinya.
Baca juga: Pilpres 2019, Minus Gereget Pemberantasan Korupsi?
Para pengacara harus sadar bahwa digital lawyer merupakan satu dari begitu banyak contoh penggunaan AI di profesi hukum.
Makin banyak firma hukum yang menggunakan AI untuk memilah data, melakukan analisa dokumen, bahkan sampai merumuskan dokumen hukum seperti kontrak perjanjian.
Fenomena ini sejalan dengan laporan survei tahunan yang diterbitkan oleh PwC, Law Firms Survey Report 2018: Resilience Through Change.
Melibatkan 100 firma hukum papan atas sedunia, survei mendapati bahwa prioritas pertama mereka ke depan adalah meningkatkan penggunaan teknologi dalam proses bisnisnya.
Survei PwC tersebut menunjukkan pula, adopsi teknologi di firma-firma global ini terus meningkat sejak 2017.
Lebih dari setengah firma telah mengadopsi AI dalam proses bisnisnya. Bentuknya, mulai dari mobile apps, client collaboration tools, hingga sistem pembuatan dokumen legal secara otomatis ataupun semi-otomatis (smart contracts).
Baca juga: Huawei Luncurkan Atlas 900, Superkomputer Tercepat untuk Kecerdasan Buatan
Lebih dari itu, 80 persen firma dalam survei itu menyatakan tengah menjalankan proyek percontohan (pilot project) implementasi lanjutan teknologi AI.
Uji coba implementasi lanjutan itu termasuk penggunaan otomasi proses jauh lagi, termasuk menjajal robotic process automation dalam proses bisnis, operasional, dan interaksi mereka dengan para klien.
Tentunya perubahan-perubahan tersebut harus diantisipasi setiap praktisi hukum. Sebab, semakin AI berkembang maka bukan tidak mungkin di dalam sebuah firma hukum atau perusahaan nantinya akan lebih banyak jumlah AI dibandingkan jumlah pengacaranya.
Karenanya, para pengacara harus mencari keunggulan baru jika ingin bersaing dengan AI. Tidak cukup lagi bermodal gelar, sertifikat profesi, ataupun pengetahuan tentang hukum.
Di tengah berbagai perubahan digital yang sedang terjadi di lembaga yudikatif dan para praktisi hukum, kita tetap harus mencatat apa yang dituliskan dalam artikel Kompas berjudul Tak Sekadar Mendigitalkan (Harian Kompas, 20 Agustus 2019).
Transformasi digital tidak cukup sebatas mendigitalkan proses kegiatan, tetpi harus melibatkan inovasi yang memunculkan model bisnis baru.
Baca juga: Teknologi Digital dan Kecerdasan Buatan Hanya Ancaman buat Pekerjaan Manusia?
Dalam bidang hukum, dapat kita katakan bahwa e-Court dan digital lawyer memang merupakan bagian penting dari e-Justice. Akan tetapi, e-Justice bukanlah sebatas e-Court dan digital lawyer.
Hukum berbeda dengan bisnis. Jika inovasi digital dalam bisnis adalah untuk memunculkan model bisnis baru, inovasi di bidang hukum harus memunculkan budaya hukum e-Justice yang baru.
Tepatnya, budaya masyarakat yang tidak hanya sadar hukum dan patuh hukum tetapi juga mampu menjadi praktisi hukum secara umum.
Apa yang dimaksud dengan masyarakat menjadi praktisi hukum, tentu bukan dalam konteks profesi praktisi hukum. Standardisasi dan legalitas profesi hukum tetap dibutuhkan untuk menjamin terwujudnya keadilan.
Namun, di dalam era e-Justice, jangan heran jika ada orang tanpa pendidikan hukum dengan bantuan AI kemudian dapat menyusun kontrak perjanjian lebih andal daripada seorang pengacara.