Meskipun awalnya terdengar aneh, konsep ini bukan tidak mungkin terjadi. Praktisi hukum perlu melihat bidang-bidang lain yang mulai mengalami perubahan serupa.
Misal, di bidang kedokteran. Pada 2018, sistem AI bernama BioMind mengalahkan tim yang terdiri dari 15 dokter dalam menegakkan diagnosis tumor otak.
Memang semua disrupsi digital yang terjadi dalam bidang hukum masih berada di tahap awal.
Sekarang, tugas para praktisi hukum bukan hanya duduk diam menantikan terjadinya perubahan, melainkan kita harus turut berpatisipasi aktif dalam mempercepat terjadinya perubahan, atau mempercepat terwujudnya era e-Justice.
Baca juga: Kronik KUHP: Seabad di Bawah Bayang Hukum Kolonial
Untuk melakukan hal tersebut, ada tiga hal mendasar yang dapat dilakukan para praktisi hukum.
Pertama, digitalkan yang bisa didigitalkan. Kita harus berani mengidentifikasi berbagai bagian dari proses hukum yang bisa lebih efektif jika didigitalkan.
Dalam melakukan ini tentu akan ada perbedaan pendapat, akan tetapi sudah begitu banyak contoh di dunia yang dapat menjadi referensi, seperti yang terjadi di Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Kedua, praktisi hukum harus memiliki keahlian digital. Mulai dari penggunaan sistem AI yang memudahkan pekerjaan hingga mampu membangun sistem digital sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan sehari-hari yang dihadapi praktisi hukum.
Semua keahlian tersebut harus dikuasai, jika ingin tetap relevan terhadap perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat atas jasa penasihat hukum di era digital.
Ketiga, para praktisi hukum harus menemukan keunggulan dalam wujud nyata sebagai penasihat hukum dibandingkan dengan AI.
Baca juga: Polemik RKUHP, dari Menjerat Ranah Privat sampai Mengancam Demokrasi
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kita nantinya sudah tidak bisa berlindung di balik sertifikat pendidikan hukum atau sertifikat profesi. Kita juga tidak bisa menghentikan AI menyederhanakan berbagai bagian dari pekerjaan praktisi hukum.
Apa yang bisa kita lakukan adalah mengasah kemampuan kita untuk bisa bermitra dengan AI, serta memberikan sesuatu kepada para pencari keadilan yang tidak dapat diberikan oleh AI.
Artinya, peran human intelligence di dalam mengambil sebuah keputusan hukum tetap menjadi yang terpenting.
Di saat AI dapat berperan melalui statistik dan data untuk mempercepat dan mempermudah praktisi hukum dalam menyelesaikan pekerjaannya, para praktisi hukum harus terus berperan dengan pengalaman dan naluri kemanusiaannya untuk dapat memberikan rasa keadilan yang sesungguhnya.
Perjalanan Indonesia di era e-Justice tidak akan mudah. Banyak yang akan terjadi dan menantang hukum, beserta praktisinya, untuk memenuhi rasa keadilan yang diinginkan oleh masyarakat yang semakin terbiasa dengan kehidupan serba digital.
Akan tetapi kita harus ingat bahwa e-Justice adalah bagian penting yang harus dimiliki Indonesia jika ingin benar-benar menjadi negara maju.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.