Salin Artikel

Siap Menyambut Era E-Justice di Indonesia?

MENGHADIRKAN keadilan adalah esensi dari setiap pasal dan ayat dari hukum. Namun, dalam sejarah, kita melihat definisi keadilan terus berkembang sesuai dengan tantangan zaman.

Oleh karena itu, hukum terus berevolusi agar tetap relevan untuk menjawab permasalahan-permasalahan baru di masyarakat.

Sebagai contoh, di saat pemanfaatan teknologi informasi menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, hukum tidak bisa statis.

Salah satunya adalah dalam bentuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai payung hukum baru yang hadir untuk menjawab segala dinamika dan tantangan baru di era yang serba digital.

Tantangan zaman yang kita semua hadapi adalah revolusi digital. Sebuah revolusi yang telah melahirkan begitu banyak disrupsi, serta mengubah pola hidup manusia secara drastis.

Banyak bidang kehidupan telah berubah, berbagai jenis pekerjaan tergantikan, dan banyak pihak kebingungan beradaptasi dengan kecepatan disrupsi digital yang terjadi.

Dibutuhkan evolusi hukum untuk menghadirkan rasa keadilan, seperti dengan menghadirkan e-Justice.

Bibit e-Justice

Kita perlu mengapresiasi bahwa Mahkamah Agung (MA) telah merintis terwujudnya e-Justice di Indonesia. Yaitu, dengan pengembangan sistem peradilan elektronik (e-Court).

Kehadirannya diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik.

Melalui Perma tersebut, sistem online sudah mulai digunakan dalam proses pendaftaran perkara (e-Filling), serta pembayaran biaya perkara (e-Payment), pemanggilan, dan pemberitahuan sidang (e-Summons).

Bahkan, MA sudah memulai pengembangan sistem e-Court menuju e-Litigation. Nantinya,  ini akan mencakup adaptasi sistem online pada proses jawab-menjawab, keterangan saksi, keterangan ahli, sampai pada penyampaian putusan.

Serupa yang dilakukan MA, Hoge Raad Belanda—sebutan untuk Mahkamah Agung di Belanda—juga berkomitmen melakukan digitalisasi sistem peradilan sejak awal 2017.

Sementara itu, Federal Public Services of Justice dan Mahkamah Konstitusi di Belgia telah memiliki road map yang terukur untuk memulai sistem peradilan melalui e-Court.

Di Uni Eropa, istilah e-Justice sudah mulai digunakan dalam konteks big data di ekosistem hukum.

Jika kita mengetik e-Justice European Union di mesin pencari, akan muncul “European e-Justice Portal” di laman pencarian.

Uni Eropa mendeskripsikan tujuan portal tersebut sebagai “improving access to justice throughout the EU”, meningkatkan akses keadilan di seluruh Uni Eropa.

Melalui portal tersebut, kita dapat dengan mudah mengakses berbagai data terkait proses dan praktik hukum di Uni Eropa. Seperti, basis data para pengacara dan notaris yang resmi terdaftar, contoh perkara, dan penjelasan proses pengadilan.

Kita tidak perlu lagi ketakutan atau kebingungan menelusuri rimba hukum di Uni Eropa. Cukup dengan membuka portal online e-Justice, berbagai data atau informasi tentang hukum sudah tersedia.

Kebangkitan digital lawyer

Dari sisi praktisi hukum, saat ini sudah banyak bermunculan digital lawyer. Ini adalah sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) yang digunakan untuk menganalisis basis data dokumen-dokumen hukum.

Sistem AI tersebut dapat menyortir ribuan dokumen dalam waktu sangat singkat untuk memberikan referensi hukum yang paling akurat untuk pengacara yang menggunakannya.

Bahkan, beberapa sistem tersebut dirancang dapat terus beradaptasi untuk meningkatkan kualitas rekomendasinya.

Para pengacara harus sadar bahwa digital lawyer merupakan satu dari begitu banyak contoh penggunaan AI di profesi hukum.

Makin banyak firma hukum yang menggunakan AI untuk memilah data, melakukan analisa dokumen, bahkan sampai merumuskan dokumen hukum seperti kontrak perjanjian.

Fenomena ini sejalan dengan laporan survei tahunan yang diterbitkan oleh PwC, Law Firms Survey Report 2018: Resilience Through Change. 

Melibatkan 100 firma hukum papan atas sedunia, survei mendapati bahwa prioritas pertama mereka ke depan adalah meningkatkan penggunaan teknologi dalam proses bisnisnya.

Survei PwC tersebut menunjukkan pula, adopsi teknologi di firma-firma global ini terus meningkat sejak 2017.

Lebih dari setengah firma telah mengadopsi AI dalam proses bisnisnya. Bentuknya, mulai dari mobile apps, client collaboration tools, hingga sistem pembuatan dokumen legal secara otomatis ataupun semi-otomatis (smart contracts).

Lebih dari itu, 80 persen firma dalam survei itu menyatakan tengah menjalankan proyek percontohan (pilot project) implementasi lanjutan teknologi AI.

Uji coba implementasi lanjutan itu termasuk penggunaan otomasi proses jauh lagi, termasuk menjajal robotic process automation dalam proses bisnis, operasional, dan interaksi mereka dengan para klien.

Tentunya perubahan-perubahan tersebut harus diantisipasi setiap praktisi hukum. Sebab, semakin AI berkembang maka bukan tidak mungkin di dalam sebuah firma hukum atau perusahaan nantinya akan lebih banyak jumlah AI dibandingkan jumlah pengacaranya.

Karenanya, para pengacara harus mencari keunggulan baru jika ingin bersaing dengan AI. Tidak cukup lagi bermodal gelar, sertifikat profesi, ataupun pengetahuan tentang hukum.

Budaya e-Justice

Di tengah berbagai perubahan digital yang sedang terjadi di lembaga yudikatif dan para praktisi hukum, kita tetap harus mencatat apa yang dituliskan dalam artikel Kompas berjudul Tak Sekadar Mendigitalkan (Harian Kompas, 20 Agustus 2019).

Transformasi digital tidak cukup sebatas mendigitalkan proses kegiatan, tetpi harus melibatkan inovasi yang memunculkan model bisnis baru.

Dalam bidang hukum, dapat kita katakan bahwa e-Court dan digital lawyer memang merupakan bagian penting dari e-Justice. Akan tetapi, e-Justice bukanlah sebatas e-Court dan digital lawyer.

Hukum berbeda dengan bisnis. Jika inovasi digital dalam bisnis adalah untuk memunculkan model bisnis baru, inovasi di bidang hukum harus memunculkan budaya hukum e-Justice yang baru.

Tepatnya, budaya masyarakat yang tidak hanya sadar hukum dan patuh hukum tetapi juga mampu menjadi praktisi hukum secara umum.

Apa yang dimaksud dengan masyarakat menjadi praktisi hukum, tentu bukan dalam konteks profesi praktisi hukum. Standardisasi dan legalitas profesi hukum tetap dibutuhkan untuk menjamin terwujudnya keadilan.

Namun, di dalam era e-Justice, jangan heran jika ada orang tanpa pendidikan hukum dengan bantuan AI kemudian dapat menyusun kontrak perjanjian lebih andal daripada seorang pengacara.

Meskipun awalnya terdengar aneh, konsep ini bukan tidak mungkin terjadi. Praktisi hukum perlu melihat bidang-bidang lain yang mulai mengalami perubahan serupa.

Misal, di bidang kedokteran. Pada 2018, sistem AI bernama BioMind mengalahkan tim yang terdiri dari 15 dokter dalam menegakkan diagnosis tumor otak.

Praktisi hukum harus berubah

Memang semua disrupsi digital yang terjadi dalam bidang hukum masih berada di tahap awal.

Sekarang, tugas para praktisi hukum bukan hanya duduk diam menantikan terjadinya perubahan, melainkan kita harus turut berpatisipasi aktif dalam mempercepat terjadinya perubahan, atau mempercepat terwujudnya era e-Justice.

Untuk melakukan hal tersebut, ada tiga hal mendasar yang dapat dilakukan para praktisi hukum.

Pertama, digitalkan yang bisa didigitalkan. Kita harus berani mengidentifikasi berbagai bagian dari proses hukum yang bisa lebih efektif jika didigitalkan.

Dalam melakukan ini tentu akan ada perbedaan pendapat, akan tetapi sudah begitu banyak contoh di dunia yang dapat menjadi referensi, seperti yang terjadi di Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Kedua, praktisi hukum harus memiliki keahlian digital. Mulai dari penggunaan sistem AI yang memudahkan pekerjaan hingga mampu membangun sistem digital sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan sehari-hari yang dihadapi praktisi hukum.

Semua keahlian tersebut harus dikuasai, jika ingin tetap relevan terhadap perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat atas jasa penasihat hukum di era digital.

Ketiga, para praktisi hukum harus menemukan keunggulan dalam wujud nyata sebagai penasihat hukum dibandingkan dengan AI.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kita nantinya sudah tidak bisa berlindung di balik sertifikat pendidikan hukum atau sertifikat profesi. Kita juga tidak bisa menghentikan AI menyederhanakan berbagai bagian dari pekerjaan praktisi hukum.

Apa yang bisa kita lakukan adalah mengasah kemampuan kita untuk bisa bermitra dengan AI, serta memberikan sesuatu kepada para pencari keadilan yang tidak dapat diberikan oleh AI.

Artinya, peran human intelligence di dalam mengambil sebuah keputusan hukum tetap menjadi yang terpenting.

Di saat AI dapat berperan melalui statistik dan data untuk mempercepat dan mempermudah praktisi hukum dalam menyelesaikan pekerjaannya, para praktisi hukum harus terus berperan dengan pengalaman dan naluri kemanusiaannya untuk dapat memberikan rasa keadilan yang sesungguhnya.

Perjalanan Indonesia di era e-Justice tidak akan mudah. Banyak yang akan terjadi dan menantang hukum, beserta praktisinya, untuk memenuhi rasa keadilan yang diinginkan oleh masyarakat yang semakin terbiasa dengan kehidupan serba digital.

Akan tetapi kita harus ingat bahwa e-Justice adalah bagian penting yang harus dimiliki Indonesia jika ingin benar-benar menjadi negara maju.

https://nasional.kompas.com/read/2019/11/11/11242091/siap-menyambut-era-e-justice-di-indonesia

Terkini Lainnya

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke