JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur NU Online sekaligus pegiat media sosial Mohamad Syafi’ Alielha atau akrab disapa Savic Ali, menilai tindakan buzzer politik pendukung pemerintah justru akan merusak dukungan dari elemen masyarakat sipil terhadap legitimasi Presiden Joko Widodo pada periode kedua pemerintahannya.
Savic berpendapat, buzzer pro-pemerintah cenderung bersikap reaktif terhadap segala kritik yang ada. Padahal kritik yang dilontarkan itu menandakan masyarakat masih memiliki harapan terhadap Presiden Jokowi.
"Semestinya tidak ada tindakan-tindakan dari para pendukungnya itu yang over, yang justru bisa merusak koalisi atau dukungan dari kelompok masyarakat atau komunitas yang pada dasarnya pro presiden," ujar Savic saat dihubungi, Selasa (8/10/2019).
Baca juga: Buzzer Pendukung Pemerintah Dinilai Terlalu Agresif Tanggapi Kritik
Menurut Savic, pembelaan yang berlebihan dari para buzzer berpotensi menjadi bumerang bagi Presiden Jokowi.
Akibatnya, citra presiden dapat memburuk dan legitimasi dukungan terhadap pemerintah juga semakin melemah.
"Tindakan berlebihan itu bisa back-fire. Saya kira pembelaan yang berlebihan, justru kalau terlalu reaksioner itu bisa backfire buat citra presiden sendiri dan kemudian membuat legitimasi dukungan orang juga bisa melemah," kata Savic.
Baca juga: Pandangan Publik soal Buzzer Disebut Bergeser
Savic menengarai fenomena buzzer politik tidak bisa dilepaskan dari adanya polarisasi politik dan sosial yang sudah terjadi sebelum Pilpres 2019.
Masyarakat terbelah dalam dua kubu pendukung pasangan capres-cawapres.
Pro-pemerintah menganggap ada pihak-pihak yang ingin melemahkan posisi Presiden Jokowi dengan melontarkan kritik.
Kritik tersebut juga dianggap akan menguntungkan pihak oposisi atau pendukung Prabowo Subianto.
Baca juga: Fenomena Buzzer Memanipulasi Opini, Pencerdasan Publik Dinilai Penting
Ada pula polarisasi sosial misalnya terkait sentimen agama. Pihak yang kerap mengkritik pemerintah dianggap berasal dari kelompok Islam kanan atau setidaknya memiliki afiliasi politik dengan kelompok tersebut.
Sentimen ini digunakan buzzer untuk mengeneralisasi kelompok yang mengkritik pemerintah itu dianggap berafiliasi dengan kelompok kanan.
Hal ini, kata Savic, terlihat dari kontra-narasi para buzzer terkait kasus Novel Baswedan yang akhirnya memunculkan istilah "polisi taliban".
Baca juga: Buzzer Dinilai Bisa Geser Fokus Publik soal Kasus Novel Baswedan
"Saya kira sekarang buzzer yang pro-pemerintah harus lebih santai, cooling down. Pemilu sudah selesai, dan kita menghadapi tantangan baru dan saya kira presiden juga butuh legitimasi yang kuat untuk kekuasaannya lima tahun ke depan," ucap Savic.
Keberadaan buzzer pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo di media sosial menjadi sorotan beberapa waktu terakhir. Pihak Istana Kepresidenan pun sampai-sampai ikut berkomentar.
Kegaduhan yang diciptakan buzzer pendukung Jokowi terjadi setelah Presiden menyetujui revisi UU KPK yang diusulkan DPR.
Baca juga: Buzzer Dinilai Berisiko Membangun Perdebatan yang Tidak Produktif
Para buzzer mati-matian membela kebijakan Jokowi yang tidak populer karena dianggap melemahkan KPK itu.
Keriuhan berlanjut saat mahasiswa dan pelajar melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran, yang salah satunya untuk menolak revisi UU KPK.
Para buzzer mencoba mendelegitimasi gerakan itu melalui berbagai unggahan. Bahkan ada sejumlah kicauan yang mengarah pada disinformasi.