JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan Masruchah menuturkan bahwa Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tidak mengatur secara luas soal tindak pidana kekerasan seksual.
Oleh sebab itu, ia memandang bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) penting untuk disahkan.
"Ada wilayah kekerasan seksual seperti apa yang tidak dikenali dalam RUU KUHP," ujar Masruchah dalam sebuah diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Adapun draf RUU PKS menyebut sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual.
Baca juga: Anggota Komisi VIII Pastikan RUU PKS Tak Legalkan Seks Bebas
Kesembilan jenis tindak pidana tersebut yakni pelecehan seksual, elsploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawainan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Kekerasan seksual meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik dan situasi khusus lainnya.
Menurut Masruchah, definisi tindak pidana kekerasan seksual tidak lagi sebatas kekerasan fisik atau penetrasi alat kelamin. Contohnya, tindak pidana perkosaan dalam perkawinan.
Baca juga: Fraksi yang Menolak Pengesahan RUU PKS Dinilai Tidak Konsisten
Meski telah dikategorikan sebagai tindak pidana, namun perkosaan dalam perkawinan tidak diatur dalam RUU KUHP maupun KUHP yang kini masih berlaku.
Masruchah mengatakan, hubungan seksual yang berdasarkan pada pemaksaan dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual meski dalam relasi perkawinan.
"Ketika memang tidak ada persetujuan, ini ada pemaksaan, ini kaitan dengan ancaman bila tidak dilakukan, ini artinya bagian yang yang kita kenali sebagai perkosaan," ucap Masruchah.