KOMPAS.com - "Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar pengelihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur; perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangus kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput."??
Begitulah kata Nyai Ontosoroh, tokoh dalam novel Bumi Manusia, seri pertama Tetralogi Buru karangan Pramoedya Ananta Toer.
Lewat Nyai Ontosoroh, Minke, Annelies, dan puluhan tokoh fiksi dalam cerita lainnya, Pram bicara soal banyak hal.
Mulai dari kemanusiaan, cinta, keadilan, hingga soal kepenulisan.??
Dalam Bumi Manusia Pram bercerita tentang sosok Minke, anak Bupati yang sangat pandai yang bersekolah di HBS bersama anak-anak keturunan Eropa.
Minke jatuh cinta pada seorang gadis yang pandai juga bernama Annelies.
Annelies adalah putri dari Nyai Ontosoroh, seorang simpanan Belanda yang melawan stigma masyarakat lewat kecerdasan dan ketegarannya.
??Di novel itu, Pram menggambarkan kehidupan di era kolonialisme yang menjadikan pribumi sebagai warga kelas tiga, setelah bangsa Eropa dan Tionghoa.
Cinta Minke dan Annelies harus berhadapan dengan tatanan sosial kala itu.??
"Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan" kata Pram melalui tokoh Jean Marais, saat sedang mendengar curhat Minke soal perasaannya terhadap Annelies dan Nyai Ontosoroh.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid pernah meneliti tentang dekolonisasi dalam karya Pram. Menurutnya, Bumi Manusia bicara lebih dari sekadar kisah tragis Minke dan Annelies.
"Dia kan melihat bagaimana cintanya itu berhadapan dengan tembok-tembok pemisah yang dilihatkan lewat kolonialisme. Sebagai seorang pemuda yang jatuh cinta, dia berjuang meruntuhkan tembok-tembok itu," kata Fay, panggilan akrab Hilmar Farid, kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.
Di Anak Semua Bangsa, novel kedua Tetralogi Buru, Pram melanjutkan nasib malang Minke dan Nyai Ontosoroh.
Perkebunan dan pabrik susu Boerderij Buitenzorg milik suaminya, Herman Mellema, yang sudah dikelolanya selama 20 tahun, diambil paksa.
Hukum Belanda yang tak mengakui hak-hak gundik, membuat tanah dan perusahaan Nyai Ontosoroh jatuh ke tangan Ir. Maurits Mellema, anak Herman Mellema dari istri sahnya di Belanda.
Fay melihat konflik agraria dalam Tetralogi Buru ini kerap terlewatkan. Padahal cerita itu menjadi alegori atau retorika yang sempurna untuk kenyataan hari ini.
"Sekarang dalam bentuk misalnya perkebunan sawit. Pemiliknya entah di mana, tapi masyarakat yang hidup di atasnya langsung terdampak dan sekaligus dia terasing di tanahnya sendiri," ujar Fay.
Di seri ketiga Tetralogi Buru, Jejak Langkah, Pram melanjutkan cerita soal Minke yang melanjutkan sekolah kedokteran STOVIA di Batavia.