"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya," kata Nyai Ontosoroh kepada Minke.
Kata-kata Nyai Ontosoroh adalah kalimat penutup dalam novel Bumi Manusia setebal 535 halaman. Maknanya dalam: perlawanan dengan penuh harga diri sampai batas akhir.
Bumi Manusia ditutup dengan kekalahan perlawanan Nyai Ontosoroh dan Minke yang gagal mempertahankan Annelies yang diam membeku dibawa pasukan kerajaan Belanda pulang ke tanah waris yuridisnya di Eropa sana.
Namun, kekalahan itu tak digambarkan Pram secara fatalistik. Pembaca akan merasakan betapa bermartabatnya kekalahan itu. Kekalahan dari sebuah perlawanan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Perlawanan terhadap ketidakadilan menjadi benang merah bagi sebagian besar karya-karya Pram. Derita yang dialaminya dari pemerintah Orde Baru, dituangkan lewat cerita-cerita sejarah dan kehidupan masa lampau.
"Siapa pun boleh mencoba, dan keadilan itu takkan dapat dihindarinya, karena dia adalah tumit manusia sendiri," kata Pram dalam novel Arok Dedes.
Selain Tetralogi Buru dan Arus Balik, novel Arok Dedes juga ditulis Pram saat ditahan di Pulau Buru di akhir tahun 1976.
Buku pelajaran boleh menceritakan Ken Arok sebagai pemberontak licik yang mempersunting Ken Dedes.
Namun Pram memilih penafsiran sejarah lain, dengan menjadikan Ken Arok sebagai sosok yang berani melawan penindasan akuwu atau pemimpin Tumapel, Tunggul Ametung, dengan berbagai intrik politiknya.
“Tanpa keberanian hidup adalah tanpa irama. Hidup tanpa irama adalah samadhi tanpa pusat,” begitu kata Pram dalam Arok Dedes soal keberanian.
Salah satu cara paling baik melawan, menurut Pram, dengan menulis.
Sebelum dijebloskan ke penjara, Pram pernah mengumpulkan surat-surat RA Kartini dan berusaha memberi interpretasi terhadap sosok Kartini. Menurut Pram, Kartini memberi sumbangsih besar terhadap catatan sejarah era kolonial.
Sayang, biografi yang diberi judul Panggil Aku Kartini Saja itu hanya ada bagian I dan II saja. Bagian III dan IV dibakar tentara saat Pram ditangkap pada 1965.
Selama 14 tahun dipenjara di Pulau Buru, Pram tak pernah berhenti menulis. Melalui cerita-ceritanya yang menggugah, Pram menyampaikan pesan universal yang menembus zaman.
Pesannya--baik yang tersirat maupun tersurat--masih relevan sampai hari ini.
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian," begitu kata Pram.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.