Saat belajar di sana ia bertemu dengan Ang San Mei, aktivis keturunan Tionghoa yang bekerja untuk membentuk sebuah organisasi untuk Tionghoa di Hindia Belanda.
Pemikiran tokoh-tokoh dalam Jejak Langkah, menunjukkan progresifnya Pram dibanding kebanyakan orang di zamannya. Termasuk urusan cinta dan rumah tangga.
Dalam satu bagian cerita, Mei pernah menerima surat dari seorang gadis Jepara yang ingin tahu soal emansipasi wanita Tionghoa.
Apakah wanita Tionghoa juga bernasib sama buruknya--kerap direndahkan dan dipoligami--seperti wanita Indonesia???
"Menurut pendapatku, tak ada satu bangsa di dunia bisa terhormat bila wanitanya ditindas oleh pria seperti pada bangsaku," tulis gadis Jepara itu dalam surat. ??
Dalam Jejak Langkah, Minke akhirnya menikah dengan Mei. Sayangnya, Mei kemudian meninggal karena sakit.
Minke yang setelah itu beralih profesi menjadi jurnalis akhirnya menikah lagi dengan Prinses van Kasiruta, putri raja Maluku yang ikut ayahnya dibuang ke Sukabumi.??
"...begitu seia-sekata, yang lelaki tidak membudakkan istrinya, yang perempuan tidak memperhamba diri pada suami seperti pada golongan atas sebangsaku. Indahnya perkawinan semacam itu,” kata Minke soal pernikahan yang ideal.??
Hal yang serupa juga disampaikannya di novelnya yang lain, Arus Balik.
Epos itu sebenarnya menceritakan kedatangan Portugis ke Indonesia dengan latar keruntuhan Majapahit dan bangkitnya Kesultanan Demak.
Tokoh utama dalam novel ini adalah Wiranggaleng, seorang pemuda juara gulat di desa Awis Krambil, Tuban.??
Cerita dibuka dengan pidato Rama Cluring, seorang bijak yang bercerita tentang kejayaan masa lalu.
Di antara berbagai celotehannya yang ngalor-ngidul, ada satu petuahnya yang menyinggung soal emansipasi.
??"Kau, orangmuda, sama halnya dengan perempuan pemalas yang merasa lebih beruntung jadi selir atau gundik di bandar-bandar daripada mendampingi seorang suami di sawah dan ladang. Berbahagialah suami-istri yang sama-sama bekerja, maka haknya pun sama di hadapan para dewa dan manusia," kata Pram meminjam mulut Rama.??
Cerita dilanjutkan dengan keberuntungan Wiranggaleng mendapat kuasa yang terus menanjak, kendati keinginannya cuma hidup sederhana bersama kekasihnya Idayu.
Di balik peran pentingnya sebagai utusan Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilatikta, Wiranggaleng meninggalkan keluarganya, tak punya kuasa menentukan nasibnya.
Feodalisme yang tergambar lewat cerita ini, kata Fay, bisa jadi perenungan atas sisa-sisa feodalisme yang kita masih rasakan hari ini.
"Betapa jauh dampak dari warisan feodal di kehidupan pribadi yang begitu personal? Kok begitu sih? Kenapa sih si Wiranggaleng ini enggak ambil keputusan? Novel historis kan membawa kita ke pertanyaan semacam itu dan itu untuk segala jaman sih relevan ya terus selama kultur seperti itu ada di masyarakat kita," ujar Fay.