JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menerima 525 pengaduan selama Januari-April 2019 terkait kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada di lembaga kepolisian, korporasi, pemerintahan daerah, pemerintahan pusat, dan lembaga pendidikan.
Komisioner pemantauan dan penyelidikan Komnad HAM Amiruddin menyatakan, 525 pengaduan tersebut berasal dari individu, kelompok masyarakat, organisasi, dan kantor pengacara.
"Dari jumlah kasus tersebut yang ditindaklanjuti sebanyak 213 kasus dan 312 di antaranya tidak ditindaklanjuti," ujar Amiruddin dalam konferensi persnya di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa (16/7/2019).
Baca juga: Visi Jokowi Tanpa Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu...
Ia menjelaskan, terdapat beragam alasan dari 312 kasus yang tidak ditindaklanjuti tersebut, seperti kasus yang dilaporkan dianggap bukan kasus pelanggaran HAM, berkas tidak lengkap, dan laporannya hanya berupa surat tembusan.
Pihak yang paling banyak diadukan, lanjutnya, yaitu kepolisian dengan 60 kasus, korporasi (29), dan pemerintah daerah (29), dengan sebaran wilayah terbanyak berturut-turut di DKI Jakarta dengan 67 kasus, Sumatera Utara (30), dan Kalimantan Barat (27).
"Dalam pengaduan yang diterima Komnas HAM, isu atau kasus yang menonjol dalam kepolisian misalnya, yaitu terkait proses hukum yang tidak prosedural, seperti adanya penggunaan tindak kekerasan dan lambatnya penanganan laporan polisi," papar Amiruddin.
Baca juga: Aktivis Harap Jokowi Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM dan Konflik Agraria
"Hal tersebut disebabkan karena kurangnya pemahaman tentang prinsip HAM oleh aparat kepolisian, khususnya di tingkat Polsek dan Polres dan pengawasan serta penindakan internal yang tidak tegas," sambungnya.
Soal korporasi, seperti diungkapkan Amiruddin, isu yang menonjol dalam pengaduan yang diterima Komnas HAM yaitu terkait kegiatan operasional perusahaan dan kepatuhan akan regulasi.
Kemudian untuk isu pemerintah daerah, tuturnya, isu yang mengemuka adalah peran Pemda dalam pencegahan kasus-kasus intoleransi atau ekstremisme dan pengawasan terhadap pemberian izin sarana dan prasarana publik.