NYARIS setiap pembahasan rancangan aturan perundang-undangan yang berdampak luas kepada publik memantik polemik.
Dalam arti positif, polemik tersebut dipandang sebagai ekpresi sikap publik yang merasa perlu terlibat untuk membahas kebijakan yang menyangkut dirinya.
Prinsipnya jelas: nothing about us, without us. Regulasi yang hendak mengatur publik sepatutnya menyertakan publik dalam penyusunannya (kualitas proses).
Namun pada sisi lain, polemik seperti itu seolah mencuatkan kembali persoalan laten dalam legislasi, yakni perihal (absennya) partisipasi pemangku kepentingan.
Artinya, polemik di belakang hari muncul saat suatu kebijakan hendak atau sedang dilaksanakan.
Penolakan bisa terjadi lantaran isi regulasi yang merugikan publik, atau tidak dipahami publik secara tepat.
Respons demikian tak akan muncul jika publik (setidaknya pemangku kepentingan dan para pihak terdampak) dilibatkan dalam tahapan-tahapan penting penyusunan regulasi.
Dalam tataran ideal, pembuat kebijakan semestinya tak boleh melupakan prinsip keterbukaan dan juga partisipasi publik dalam proses legislasi.
Hal itu sesuai dengan asas-asas mendasar pembentukan peraturan perundang-undangan, seperti kejelasan tujuan; kelembagaan; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; efektivitas dan efisiensi; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memuat klausul tersendiri soal partisipasi tersebut.
Pada prinsipnya, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Agar partisipasi masyarakat bisa berjalan dengan baik, harus dipastikan bahwa rancangan peraturan perundang-undangan juga dapat diakses dengan mudah oleh publik.
Secara normatif, ketentuan telah mengharuskan pihak pemerintah dan legislatif sebagai pihak yang berwenang menetapkan peraturan perundang-undangan untuk menyebarluaskan setiap rancangan mulai dari penyusunan program legislasi, pembahasan, hingga pengundangan.
Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat dan para pemangku kepentingan mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan.
Hanya saja, dalam praktik, asas keterbukaan dan juga partisipasi publik dan/atau pemangku kepentingan kerap absen atau diabsenkan.