Ketika masa libur, anak-anak menghabiskan aktivitasnya untuk melakukan banyak kegiatan seperti membantu orangtua, memancing ikan, shalat di masjid, mengaji, dan lebih banyak fokus terhadap kegiatan keagamaan.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: 26 Juli 1950, Tentara Hindia Belanda Dibubarkan
Setelah momentum satu bulan dilaksanakan, tibalah saatnya pada hari yang begitu dinantikan, yaitu shalat Idul Fitri. Pemerintah Kolonial baru mengizinkan shalat ied berjemaah secara terbuka untuk kali pertama pada 1929.
Sebelumnya, umat Muslim melakukan shalat hanya berada di masjid kampung. Belanda masih membatasi ruang lingkup umat Islam, apalagi jika jemaah berkumpul dalam jumlah yang sangat besar.
Pihak Kolonial takut terhadap gerakan yang bisa memobilisasi massa, karena acara di tempat terbuka rentan mengancam pemerintah saat itu.
Baru setelah 1929, Pemerintah Kolonial memberikan kelonggaran kepada umat Muslim untuk melaksanakan shalat ied berjemaah.
Namun, Pemerintah Hindia Belanda yang memberikan tempat pelaksanaan shalat beserta jumlah jemaah. Ini dilakukan untuk mengawasi agar kegiatan ibadah tak berubah menjadi aksi perlawanan.
"Salat ied dilaksanakan di lapangan terbuka Koningsplein atau Stasiun Gambir, Jakarta Pusat (kala itu masih bernama Batavia)," kata Martina.
Martina juga mengatakan, pada 1939 juga dilaksanakan shalat ied bersama di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) dengan imam Hadji Muhammad Isa yang saat itu menjabat Ketua Hooft voor Islamietische Zaken (Mahkaman Urusan Agama Islam) dan khatib Hadji Mochtar anggota Hooft voor Islamietishe Zaken.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.