"Kami juga ada koordinator masing-masing provinsi untuk melakukan training, melakukan fungsi controlling, melakukan quality control juga setelah proses dilakukan," jelas Yunarto.
Untuk menerima data, Charta Politika mempersiapkan sistem aplikasi serta formula rumus untuk menyaring data yang masuk.
"Untuk mem-back up misalnya apabila ada proses keterlambatan data, kan bisa ditelepon atau bisa melakukan sms. Jadi prosesnya berlapis ya," kata dia.
Setelah data masuk, diverifikasi secara berlapis, kemudian ditabulasi dan ditayangkan secara berkala. Salah satunya melalui media-media televisi.
"Paling penting kan kita berani melakukan proses tayang data secara realtime dengan bekerja sama dengan media, yang membuat prosesnya justru semakin transparan bisa dilihat publik pada saat data masuk dari jam 15.00 WIB. Sampai data 100 persen sekarang, kita juga melaporkan," ujar Yunarto.
Tak hanya melalui media massa, perkembangan data hasil hitung cepat juga dipublikasikan Charta Politika melalui situs resminya. Hal ini sebagai bentuk transparansi kerja Charta Politika.
"Kami siap dibuka kapan pun kok, karena sebetulnya aplikasinya ada, bisa dilihat. Kalau kemudian upload data terkait dengan laporan quick count pasti di-upload di website, sama seperti survei. Jadi sebetulnya itu hal yang biasa," kata Yunarto.
Pelaksanaan hitung cepat oleh berbagai lembaga survei pada dasarnya diterapkan di negara-negara demokrasi.
Yunarto memandang, hanya negara totaliter atau otoriter saja yang tidak sepakat dengan proses hitung cepat.
Bagi Yunarto, hitung cepat menjadi alat ilmiah untuk mengawasi proses penghitungan suara secara rill (real count).
"Quick count itu sebenarnya adalah membantu proses pengawasan hasil real count, yang lama, yang rentan terhadap kecurangan. Itulah mengapa baiknya quick count ditayangkan langsung sehingga publik bisa ikut mengawasi. Itulah mengapa quick count baiknya dilakukan tidak hanya oleh satu lembaga saja sehingga check and balances bisa terjadi, orang bisa membandingkan," kata dia.
Meski demikian, Yunarto memahami bahwa belum semua masyarakat Indonesia berpikir secara rasional dalam berpolitik.
Ada pekerjaan rumah yang perlu dilakukan lembaga survei, akademisi dan media massa. Pekerjaan itu adalah menggencarkan sosialisasi.
Yunarto menjanjikan, pihaknya bersama lembaga survei lain yang tergabung dalam Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia menggencarkan sosialisasi soal survei dan hitung cepat.