Jokowi memenangi Pilpres 2014 dengan margin tipis. Perbedaan raihan suara antara Jokowi dan Prabowo pada 2014 merupakan yang paling tipis di antara pilpres sejak 1998, menandai ketatnya persaingan antara kedua kubu.
Keengganan Prabowo mengakui kekalahannya pada Pilpres 2014 diduga menjadi pemicu keberlangsungan segregasi politik sepanjang masa pemerintahan Jokowi pada 2014-2019.
Pertarungan yang belum selesai ini berlanjut pada Pilpres 2019 dan semakin diperparah dengan beberapa faktor:
Dengan ketiga kondisi di atas, maka polarisasi politik pasca-Pilpres 2019 menjadi semakin tajam karena kontes politik melibatkan dua kandidat yang sama dengan kondisi publik yang sudah partisan.
Sikap Prabowo yang mengklaim kemenangan Pilpres 2019 akan semakin mempertajam perpecahan di kalangan publik sama seperti yang dilakukannya pada Pilpres 2014.
Belajar dari kemenangan Anies, Jokowi tampaknya mengadopsi pendekatan kelompok Prabowo yang menggunakan isu agama. Ini alasannya kenapa Jokowi kemudian memilih tokoh Islam konservatif Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presidennya.
Meski kedua kelompok, baik Jokowi dan Prabowo, akhirnya sama-sama menggunakan isu Islam, hal ini tetap tidak meredakan polarisasi yang ada antara kedua kelompok.
Setelah Jokowi memilih Ma'ruf, pendukung Prabowo menuding Jokowi memolitisasi isu SARA (suku, agama, dan ras) untuk kepentingan politiknya.
Jika kelompok Prabowo sering sekali mengapitalisasi isu agama melalui gerakan masif, seperti Gerakan 212 dan Munajat 212, maka Jokowi, sejauh ini, tampaknya enggan memobilisasi massa atas nama agama.
Tidak adanya gerakan tandingan massa dari Jokowi yang mengatasnamakan Islam membuat fanatisme kubu Prabowo semakin mengerucut dan mempertajam politik identitas.
Langkah yang ditempuh kubu Prabowo saat ini dengan mengklaim kemenangan pilpres tanpa didukung hasil pemilu dapat mencederai proses demokrasi dan mempertajam perbedaan.
Lini masa social media memperlihatkan militansi dukungan terhadap Prabowo tetap yakin dirinya menang terus menguat. Hal ini akan menyebabkan bukan hanya polarisasi politik, tetapi bisa berujung kepada segregasi sosial dan perpecahan anak bangsa.
Apabila terjadi segregasi sosial akan sangat mudah negara menjadi terpecah atas dasar perbedaan ideologi atau pilihan politik.
Kasus perpecahan bangsa setelah pemilihan umum (pemilu) pernah terjadi di Kenya tahun 2007. Persaingan antara dua kandidat calon presiden berujung dengan 630.000 orang kehilangan tempat tinggal dan 1.133 terbunuh.
Untuk mencegah kasus seperti di Kenya, kita harus memperbaiki kondisi politik saat ini dengan menggunakan pendekatan dari atas ke bawah.