Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Jokowi Diminta Tegas Tolak Penempatan TNI Aktif di Jabatan Sipil

Kompas.com - 02/03/2019, 06:51 WIB
Devina Halim,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden RI Joko Widodo diminta tegas menolak rencana penempatan perwira TNI di berbagai jabatan pada kementerian atau lembaga.

Hal itu disampaikan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, saat diskusi bertajuk "Quo Vadis Reformasi: Kembalinya Militer dalam Urusan Sipil" di Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2019).

"Presiden Jokowi sebagai pemegang otoritas sipil yang dihasilkan pemilu mestinya bisa lebih tegas, bisa menolak wacana penempatan TNI aktif dalam jabatan-jabatan sipil," kata Syamsuddin.

Menurut dia, rencana tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Baca juga: Personel TNI Tak Dapat Jabatan, Komnas HAM Sebut Solusinya Pensiun

Pada Pasal 47 Ayat 2 UU TNI disebutkan bahwa militer aktif hanya dapat menduduki jabatan tertentu, misalnya yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan.

Jabatan yang diperbolehkan UU TNI untuk diduduki personel aktif, yaitu Kementerian Pertahanan, Kemenko Polhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Selain itu, Syamsuddin berpendapat, jika rencana itu terlaksana, akan mengingkari agenda reformasi.

Baca juga: Kapuspen Ungkap Dasar Penerapan Rencana Restrukturisasi TNI

Tak hanya itu, penempatan perwira TNI aktif disebutkannya tak sejalan dengan supremasi sipil yang merupakan hal yang niscaya dalam demokrasi.

"Ini pada dasarnya bukan hanya tidak sesuai dengan keniscayaan supremasi sipil, tapi juga mengkhianati agenda reformasi kita," katanya.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal Sisriadi sebelumnya mengatakan, rencana restrukturisasi oleh Presiden Joko Widodo akan memberikan kesempatan kepada perwira TNI untuk menduduki berbagai jabatan di kementerian atau lembaga yang membutuhkan.

Menurut Sisriadi, TNI secara kelembagaan tengah mengalami persoalan. Ada kelebihan jumlah perwira menengah dan perwira tinggi. Akibatnya, banyak perwira tinggi dan menengah TNI yang tak mendapat jabatan.

Baca juga: Kapuspen TNI: Dwifungsi ABRI Lebih Banyak Mudaratnya

"Kelebihan yang sekarang ini memang butuh pemecahan jangka pendek," ujar Sisriadi saat mengunjungi Menara Kompas, Palmerah, Jakarta, Selasa (12/2/2019). 

"Sekarang ini ada kelebihan kolonel sekitar 500 orang, kelebihan perwira tinggi sampai 150 orang. Memang sekarang butuh pemecahan," katanya.

Sisriadi mengatakan, TNI memang mengalami masalah teknis pengelolaan sumber daya. Persoalan itu muncul sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam UU TNI terdapat perubahan usia pensiun dari 55 tahun menjadi 58 tahun.

"Artinya ada perpanjangan masa dinas perwira," kata Sisriadi.

Untuk mengatasi persoalan itu, Panglima TNI juga berupaya menata kembali sistem kepangkatan dengan menerbitkan Peraturan Nomor 40 Tahun 2018.

Dalam peraturan itu, jangka waktu seorang perwira dalam memegang suatu jabatan tinggi menjadi dipersingkat.

Meski demikian, TNI tetap membutuhkan waktu lima tahun untuk mengatasi menumpuknya jumlah perwira menengah dan perwira tinggi.

"Itu sudah diatur dan memang tidak bisa langsung habis. Kami butuh lima tahun untuk menyelesaikan itu," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com