KOMPAS.com – Letak Indonesia yang ada di ring of fire atau cincin api Pasifik, menyebabkan wilayah kepulauan ini rentan terhadap guncangan gempa besar dan letusan gunung berapi yang memungkinkan timbulnya tsunami.
Sejarah mencatat bahwa rentetan gempa besar, letusan gunung berapi, dan amukan tsunami terjadi di berbagai titik di Indonesia yang menelan tak sedikit korban jiwa dan harta benda.
Belum ada 2 dekade sejak tahun 2000, gelombang tsunami besar tercatat menerjang empat wilayah. Adapun, wilayah itu mulai dari Aceh (2004), Mentawai (2010), serta Palu dan Selat Sunda (2018).
Tsunami dan menuntut Indonesia untuk lebih waspada, karena ia bisa muncul kapan pun dan di mana pun.
Gelombang setinggi 30 meter menggulung permukiman warga dan menghancurkan apa saja yang dilewatinya. Lebih dari 240.000 jiwa menjadi korban tewas dalam bencana dahsyat ini.
Tidak adanya peringatan dan kesiapsiagaan masyarakat yang masih rendah saat itu menjadi salah satu pemicu munculnya banyak korban jiwa.
Saat itu Aceh menjadi kota mati yang terisolasi. Korban di mana-mana, reruntuhan bangunan berserakan, akses jalan, listrik, dan komunikasi terputus. Pemerintah saat itu menyampaikan bahwa total kerugian yang terjadi mencapai Rp 42,7 triliun.
Dalam menghadapi bencana ini, Indonesia dibantu oleh banyak bantuan internasional dari berbagai negara dan lembaga, misalnya Uni Eropa, Australia, Amerika Serikat, Palang Merah Internasional ICRC.
Bantuan ada yang berupa dana segar, logistik, tenaga medis, dan perlengkapan darurat seperti genset, tenda, dan sebagainya.
Indonesia, khususnya wilayah Aceh, memang menjadi lokasi dengan dampak korban jiwa dan kerusakan terparah dari amukan gelombang ini.
Baca juga: 26 Desember 2004, Gempa dan Tsunami Aceh Menimbulkan Duka Indonesia..
Namun, masih ada 13 negara lainnya yang juga turut menjadi korban gempa dan tsunami ini. Misalnya Sri Lanka, India, Madagaskar, Somalia, Tanzania, dan Afrika Selatan.
Berdasarkan catatan lembaga survei geologi Amerika Serikat, USGS, gempa megathrust yang menjadi penyebab munculnya tsunami memiliki manitudo 9,1 dan terjadi pada pukul 07.58 pada kedalaman 20 km di sekitar Pulau Simeulue, di barat pantai pulau Sumatra bagian utara.
Gempa itu berasal dari adanya pergerakan lempeng di bawah Samudra Hindia, yakni Lempeng Hindia yang terdorong ke bawah oleh Lempeng Burma.
Tsunami setinggi 12 meter terjadi pada Senin, 25 Oktober 2010. Seperti Aceh, tsunami di Mentawai juga disebabkan adanya gempa besar di bawah laut. USGS mencatat gempa tersebut berkekuatan magnitudo 7,7 dan mengguncang kawasan pantai Sumatera Barat hingga Bengkulu.
Pada kejadian ini, peringatan dini tsunami dari badan terkait, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah dikeluarkan. Namun, peringatan tak begitu efektif.
Gempa ini disebut sebagai bencana yang datang dalam senyap. Gempa terjadi dalam waktu yang relatif lama, yakni 4 menit, pelepasan energi terjadi secara perlahan, sehingga masyarakat tidak berpikiran akan adanya gelombang tsunami sebagai akibat gempa yang terjadi.
Baca juga: Belajar dari Mentawai, Mewaspadai Tsunami yang “Senyap”
Padahal patahan yang terjadi di lempeng bawah laut sama besarnya, meskipun secara perlahan.
Korban jiwa mencapai 488 jiwa dan puluhan lainnya dinyatakan hilang. Kerugian yang ditimbulkan akibat bencana itu, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan saat itu sebesar Rp 46 miliar.
Diawali dengan gempa besar bawah laut dengan magnitudo 7,7 dan diikuti dengan peringatan dini potensi tsunami dari BMKG, tsunami setinggi 11,3 meter sapu kawasan di Donggala dan sekitarnya.
Sama seperti yang terjadi di Mentawai, peringatan tsunami di Palu juga sempat dicabut oleh BMKG sebelum akhirnya tsunami benar-benar menerjang.
Tidak hanya gempa besar dan tsunami, Palu saat itu juga dilanda bencana likuefaksi atau pencairan tanah yang semuanya terjadi di waktu berdekatan, kira-kira selepas pukul 18.00 waktu setempat.
Dari catatan BNPB, total korban jiwa yang jatuh dari 3 bencana itu adalah 2.113 jiwa dan belasan ribu lainnya mengalami luka berat.
Baca juga: Korban Tewas Gempa dan Tsunami Palu Bertambah, Kini Tercatat 2.113 Orang
Kerusakan infrastruktur dan bangunan terjadi di sana-sini, hingga memutus akses dari luar untuk mengirimkan bantuan darurat kepada korban.
Kerugian yang ditimbulkan akibat bencana ini menurut BNPB capai angka Rp 15,29 triliun, yang terdiri dari kerusakan bangunan, infrastruktur, dan kegiatan ekonomi yang lumpuh.
Tsunami terjadi pada malam hari pukul 21.30 WIB dan menerjang sebagian wilayah di Provinsi Banten dan Lampung, yakni Kabupaten Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan.
Tsunami di Selat Sunda berbeda dengan tsunami-tsunami yang pernah terjadi sebelumnya yang disebabkan oleh gempa hebat. Kali ini tsunami muncul tanpa didahului adanya gempa, sehingga tidak ada kepanikan yang terjadi.
Aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau yang menyebaban adanya longsoran luas di bawah laut, diduga menjadi penyeab tsunami di Selat Sunda ini.
Hingga empat hari pasca bencana, 429 terjadi jiwa tewas dalam kejadian ini dan seratusan lebih lainnya masih dinyatakan hilang.
Dari nama-nama korban meninggal, beberapa di antaranya berasal dari kalangan artis ibu kota yang memang tengah hadir menghibur di Pantai Tanjung Lesung, Pandeglang Banten. Mereka adalah band Seventeen yang kehilangan 3 personel utamanya, dan grup lawak Jigo yang kehilangan salah satu personelnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.