KOMPAS.com - Perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan. Melalui perempuan, sosok pemimpin bangsa dilahirkan. Selain itu, perempuan juga ikut berjuang dalam upaya meraih dan mempertahankan kemerdekaan.
Pada era penjajahan, perempuan Indonesia memang tak mendapatkan haknya dengan baik. Mereka ditindas oleh penjajah, mendapat perlakuan yang tak manusiawi, juga mendapatkan siksaan.
Sistem pergundikan yang terjadi pada masa penjajahan Belanda membuat harkat dan martabat perempuan Indonesia tak dihargai. Banyak juga yang dijadikan pemuas nafsu untuk tentara penjajah.
Memasuki era 1910-an, berbagai organisasi pergerakan di Indonesia mulai bermunculan. Mereka mulai menyadari akan perlunya berjuang untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan.
Saat itu, kaum perempuan juga mulai memberanikan diri untuk berkumpul, menyatakan pendapat, dan berorganisasi.
Perempuan mulai menyadari pentingnya persatuan. Perasaan senasib dan sepenanggungan menjadi landasan mereka untuk berjuang mencapai tujuan bersama.
Baca juga: 87 Tahun Pasca-Kongres Perempuan, Diskriminasi Perempuan Masih Tinggi
Setelah perempuan berjuang hanya di lingkup daerah, kini mereka menyadari akan pentingya berkomunikasi dengan perempuan lain di berbagai daerah. Tujuannya adalah untuk bisa berkumpul dan bertukar pikiran bersama.
Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 22 Desember 1982, awal mula bersatunya para perempuan di Indonesia adalah Kongres Perempuan I yang diadakan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928.
Bertempat pada sebuah gedung bernama Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipoero yang kini menjadi kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Yogyakarta, para perempuan mulai menyuarakan pendapatnya dalam sebuah forum yang resmi.
Kongres ini dihadiri oleh sekitar 30 organisasi wanita yang tersebar di kota Jawa dan Sumatera. Mereka semua yang hadir dalam kongres ini terinspirasi dari perjuangan wanita pada era abad ke-19 yang berjuang melawan penjajahan sampai titik darah penghabisan.
Selain itu, kongres ini juga dihadiri oleh wakil-wakil dari Boedi Oetomo, PNI, PSI, Jong Java, Muhammadiyah, dan organisasi pergerakan lainnya.
Pertemuan yang dilakukan dari 22 sampai 25 Desember 1928 itu membahas tentang pertalian perkumpulan perempuan di Indonesia dan juga membicarakan kewajiban, keperluan dan kemajuan perempuan.
Pada masa pergerakan, isu utama yang sedang hangat adalah mengenai pendidikan perempuan bagi anak gadis, perkawinan anak-anak, kawin paksa, permaduan dan perceraian secara sewenang-wenang.
Ketika itu perempuan dianggap hanya disiapkan menuju perkawinan. Perempuan dianggap hanya sebagai istri, ibu, dan pengurus rumah tangga. Setelah itu, perempuan hanya pasrah melayani keluarga beserta suaminya.
Tanpa alasan yang jelas, perempuan di masa itu banyak yang mendapatkan talak dari suaminya. Otomatis mereka yang tak berpendidikan akan dikembalikan kepada keluarganya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.