Jawaban Presiden Jokowi itu disesalkan oleh koalisi pendukung Nuril.
Menurut mereka, pemberian amnesti bukan sebuah intervensi seperti argumen yang sebelumnya disampaikan Jokowi.
"Perlu untuk kami tegaskan, bahwa amnesti bukan bentuk intervensi Presiden terhadap proses peradilan pidana, karena secara prinsip dan hukum, proses peradilan pidana telah selesai," kata Erasmus Napitupulu.
Anggara Suwahju juga menilai, tidak tepat pernyataan Presiden Jokowi yang menawarkan agar Baiq Nuril mengajukan grasi. Anggara mengatakan, pemberian grasi memang adalah kewenangan Presiden.
Namun, UU membatasi grasi hanya bisa diberikan kepada orang yang dipidana minimal dua tahun penjara.
"Sementara kasus Bu Nuril hanya enam bulan penjara. Secara hukum tidak memungkinkan," kata Anggara.
Selain itu, Anggara juga menilai tidak adil jika Nuril mendapatkan grasi. Sebab, ia menilai Nuril tidak bermasalah dalam kasus ini.
Menurut dia, kasus yang menjerat mantan guru honor SMU 7 Mataram itu sudah direkayasa.
Indikasinya, rekaman asli percakapan telepon antara Nuril dengan kepala sekolahnya yang bermuatan asusila tidak pernah ditemukan. Yang dijadikan bukti justru adalah rekaman salinan.
"Dengan mendorong Grasi, Presiden menganjurkan Nuril untuk mengakui kesalahan yang tidak pernah dilakukan. Tidak adil kalau orang yang tidak melakukan kesalahan minta diampuni kesalahan," kata Anggara.
Oleh karena itu, Anggara menilai solusi yang paling tepat bagi Nuril adalah pemberian amnesti.
Dengan amnesti, maka hukum pidana terhadap orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan.
"Amnesti adalah bentuk pengakuan dan keberpihakan negara untuk melindungi korban kejahatan yang dikriminalkan. Dan jelas di sini kalau Bu Nuril adalah korban, jangan dianggap seperti kriminal,” kata Anggara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.