Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus HAM Masa Lalu Disebut Harus Dituntaskan Lewat Mekanisme Yudisial

Kompas.com - 19/10/2018, 18:30 WIB
Kristian Erdianto,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik menegaskan bahwa pihaknya mendorong penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu melalui mekanisme yudisial atau proses pengadilan.

Pasalnya saat ini belum ada mekanisme non-yudisial yang dapat digunakan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

"Maka, jalan satu-satunya penyelesaian adalah melalui mekanisme yudisial," kata Damanik saat menggelar konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (19/10/2018).

Baca juga: Menurut Kontras, Ada 4 Alasan HAM Bukan Prioritas Pemerintahan Jokowi

Secara terpisah, Komisioner Komnas HAM Hairansyah mengatakan, upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu harus diselesaikan sesuai koridor dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Sebab dengan penuntasan kasus melalui pengadilan, pemerintah dapat memberikan kepastian hukum kepada korban maupun keluarganya.

"Kami bersikap, kami tidak ingin mengambil peran kalau itu di luar ketentuan UU Pengadilan HAM. Bahwa pemerintah ingin menyelesaikan kasus secara non yudisial silakan tapi proses kita di yudisialnya, karena itulah proses yang akan memberikan kepastian hukum," ujar Hairansyah.

Ia pun menegaskan bahwa Komnas HAM tak sepakat jika penyelesaian kasus HAM masa lalu menggunakan mekanisme di luar koridor UU Pengadilan HAM.

Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), sempat mewacanakan penyelesaian kasus melalui mekanisme non-yudisial, yakni pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN).

Kemudian DKN diubah menjadi Tim Gabungan Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM berat masa lalu.

"(Penuntasan kasus) Harus sesuai koridor UU Pengadilan HAM. Bagi kami penyelesaian itu yudisial, hasil penyelidikannya juga sudah ada," tuturnya.

Sejak 2002, Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan sejumlah kasus pelanggaran berat HAM masa lalu ke Jaksa Agung.

Adapun berkas penyelidikan yang telah diserahkan adalah kasus peristiwa 1965/1966, peristiwa penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, peristiwa penghilangan paksa aktivis 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999, peristiwa Talangsari 1989, peristiwa kerusuhan Mei 1998 dan peristiwa Wasior Wamena 2000-2003.

Baca juga: Komnas HAM Klaim Telah Serahkan Berkas 12 Kasus HAM Berat ke Kejagung

Komnas HAM juga menambah tiga berkas kasus pelanggaran berat HAM di Aceh, yakni kasus Jambu Kepok, kasus Simpang KKA dan dan kasus Rumah Gedong yang diserahkan pada 2017-2018.

Kendati demikian, hingga saat ini Jaksa Agung belum membuat langkah konkret untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.

Berdasarkan Undang-Undang Pengadilan HAM, Jaksa Agung berwenang melakukan penyidikan dalam menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM.

Kompas TV Pollycarpus bebas bersyarat berdasarkan surat Kementerian Hukum dan Ham pada 13 november 2014.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com