JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat, masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan wakil rakyat yang bersih dan berintegritas.
Bahkan, meskipun Mahkamah Agung (MA) menggugurkan PKPU tentang larangan eks koruptor menjadi calon anggota legislatif, harus ada filter agar wakil rakyat yang memperebutkan suara pada pemilihan anggota legislatif, bebas dari praktik korupsi.
Fickar menilai, ada langkah yang bisa dilakukan partai politik maupun masyarakat pemilih menyikapi hal ini.
Baca juga: Menkum HAM Harapkan Semua Pihak Terima Putusan MA soal Caleg Eks Koruptor
Apa saja?
Dari sisi penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), menurut dia, bisa mengeluarkan kebijakan untuk memfilter masuknya eks koruptor menjadi calon anggota legislatif.
Baca juga: Soal Caleg Eks Koruptor, MA Sebut Publik Mesti Kritik UU Pemilu
Salah satu yang bisa dilakukan KPU adalah menjalankan perintah yang tertuang pada Undang-Undang Pemilu, yakni mengumumkan siapa saja calon wakil rakyat yang pernah terlibat perkara korupsi secara terbuka.
"Atau, mewajibkan setiap calon untuk mengumumkan status dirinya sendiri. Itu kan yang sebagaimana diperintahkan oleh UU Pemilu. Bahkan, kalau perlu pernyataan itu ditempel di setiap TPS wilayah calon tersebut," ujar Fickar.
Terakhir, masyarakat atau pemilih harus bersikap cerdas dalam menentukan wakil rakyat yang dipilihnya.
Baca juga: Ada Usulan Caleg Eks Koruptor Ditandai di Surat Suara, Ini Kata KPU
"Selebihnya, bola ada di tangan rakyat untuk memilih atau tidak memilih si bekas koruptor atau tindak pidana lainnya itu. Hasil pemilihan ini juga nantinya dapat mengindikasikan arah pragmatisme masyarakat," ujar Fickar.
Ia juga mengusulkan agar filter-filter tersebut ke depan tidak hanya dimasukkan pada level peraturan KPU, melainkan harus masuk dalam Undang-Undang Pemilu.
MA, melalui putusannya, menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.
"Pertimbangan hakim bahwa PKPU itu bertentangan dengan UU Nomor 7 tahun 2017," ujar Juru Bicara MA Suhadi saat dihubungi Kompas.com, Jumat (14/9/2018).