Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggodo Widjojo, Sosok di Balik Kasus Cicak Vs Buaya, Meninggal Dunia

Kompas.com - 10/09/2018, 11:22 WIB
Abba Gabrillin,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengusaha Anggodo Widjojo dikabarkan tutup usia pada Jumat (7/9/2018).

Menurut berita duka yang diumumkan melalui media massa, Anggodo meninggal pada usia 63 tahun di Rumah Sakit Premier Nginden, Surabaya.

Berdasarkan iklan tersebut, Anggodo meninggal dunia pada Jumat, 7 September 2018, pukul 15.43 WIB.

Jenazah disemayamkan di Grand Heaven, Suite Room 111-112, Pluit Raya, Jakarta Utara.

Rencananya, Anggodo akan dimakamkan pada Selasa, 11 September 2018, di Pemakaman San Diego Hils, Karawang, Jawa Barat.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Ade Kusmanto mengatakan, Anggodo mendapat bebas bersyarat pada Maret 2015.

"Benar, bebas bersyarat sejak 6 Maret 2015 dan berakhir pada 14 Januari 2019," uja Ade Kusmanto saat dikonfirmasi, Senin (10/9/2018).

Menurut Ade, hingga saat ini Anggodo masih menjadi pengawasan Balai Pemasyarakatan Jakarta Selatan.

Berdasarkan pemberitaan Tribunnews.com, jenazah Anggodo sempat disemayamkan di Yayasan Adi Jasa, Surabaya.

Operator Yayasan Adi Jasa, Sigin, mengatakan, jenazah Anggodo masuk pada Jumat malam dan langsung dibawa ke Jakarta pada Sabtu (8/9/2018) subuh.

Baca juga: Remisi Kesehatan Dicabut, Anggodo Batal Dapat Pembebasan Bersyarat

Nama Anggodo ramai dibicarakan sekitar tahun 2009-2010. Ia merupakan adik dari Anggoro Widjojo, narapidana kasus korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Kementerian Kehutanan.

Anggoro menyuap empat anggota Komisi IV DPR, yakni Azwar Chesputra, Al-Amin Nur Nasution, Hilman Indra, dan Fachri Andi Leluas, guna mendapatkan proyek dalam sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) tahun 2006-2007 di Departemen Kehutanan sebesar Rp 180 miliar.

Upaya menyuap pimpinan KPK

Terpidana kasus percobaan penyuapan Pimpinan KPK dan percobaan menghalang-halangi penyidikan kasus korupsi, Anggodo Widjojo, menjadi saksi pada persidangan dengan terdakwa Ari Muladi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, Selasa (15/3/2011). Ari Muladi yang pernah menjadi tangan kanan Anggodo, dijerat oleh penuntut umum KPK dengan kasus yang sama dengan Anggodo. KONTAN/Fransiskus SImbolon Terpidana kasus percobaan penyuapan Pimpinan KPK dan percobaan menghalang-halangi penyidikan kasus korupsi, Anggodo Widjojo, menjadi saksi pada persidangan dengan terdakwa Ari Muladi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, Selasa (15/3/2011). Ari Muladi yang pernah menjadi tangan kanan Anggodo, dijerat oleh penuntut umum KPK dengan kasus yang sama dengan Anggodo.
Pada Agustus 2010, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghukum Anggodo Widjojo dengan hukuman empat tahun penjara.

Majelis hakim menilai Anggodo terbukti secara sah dan menyakinan melakukan tindak pidana korupsi.

Anggodo terbukti melakukan percobaan penyuapan pimpinan KPK dan upaya menghalang-halangi penyidikan KPK terkait kasus sistem komunikasi radio terpadu yang melibatkan kakaknya, Anggoro Widjojo.

Dalam proses banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan hukuman lima tahun penjara terhadap Anggodo.

Baca juga: Wakil Menteri Hukum dan HAM Curigai Validitas Rekomendasi Medis Anggodo

Namun, dalam pengajuan kasasi, Mahkamah Agung semakin memperberat hukuman Anggodo.

MA menambah hukuman Anggodo dari 5 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara. MA juga menjatuhkan pidana tambahan berupa denda Rp 250 juta subsider lima bulan kurungan.

Anggodo terbukti melakukan permufakatan jahat untuk mencoba menyuap pimpinan dan penyidik KPK lebih dari Rp 5 miliar.

Cicak vs buaya

Kasus yang melibatkan Anggodo dan Anggoro merupakan kasus yang mengawali konflik KPK dan Polri yang dikenal sebagai kasus Cicak vs Buaya.

Kasus itu membuat dua pimpinan KPK, Chandra Hamzah dan Bibit S Rianto, diduga dikriminalisasi.

Saat itu, Bibit dan Chandra dijadikan tersangka oleh kepolisian dengan sangkaan menerima suap dari Anggoro melalui Anggodo.

Bibit dan Chandra disangka menyalahgunakan wewenang saat menerbitkan surat pencegahan Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo serta surat pencegahan dan pencabutan pencegahan Direktur Utama PT Era Giat Prima Djoko S Tjandra.

Belakangan, terungkap adanya rekayasa berdasarkan rekaman pembicaraan hasil sadapan KPK.

Baca juga: Soal Pembebasan Bersyarat, Menteri Hukum dan HAM Ragu Anggodo Sakit

Di Mahkamah Konstitusi, rekaman percakapan telepon seluler Anggodo dengan sejumlah pejabat kepolisian dan kejaksaan diputar.

Rekaman itu dengan vulgar menyebut bagaimana merancang kasus Bibit-Chandra hingga tawar-menawar imbalan kepada pihak-pihak yang diduga ikut merekayasa.

Kejaksaan Agung lalu menghentikan perkara pemerasan dan penyalahgunaan wewenang yang disangkakan kepada Bibit-Chandra dengan alasan demi hukum.

Setelah itu, KPK menjerat Anggodo dengan sangkaan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung perkara korupsi yang sedang ditangani KPK.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

Nasional
Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

BrandzView
Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Nasional
Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Nasional
Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Nasional
Hasto: Di Tengah Panah 'Money Politic' dan 'Abuse of Power', PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Hasto: Di Tengah Panah "Money Politic" dan "Abuse of Power", PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Nasional
Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Nasional
Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com