Adapun di kubu Prabowo, PKS sejak awal mengajukan 9 nama kadernya sebagai cawapres. PAN juga memunculkan nama ketua umumnya, Zulkifli Hasan, sebagai cawapres.
Dari Demokrat, nama yang sempat menguat dan menjadi calon kuat cawapres Prabowo adalah Agus H Yudhoyono, Komandan Kogasma Partai Demokrat.
Adapun dari Gerindra sendiri, sempat beredar nama Anies Baswedan yang diusulkan sebagai cawapres Prabowo.
Faktor ini juga yang membuat capres sangat berhati-hati dalam memilih cawapresnya. Kepentingan parpol pengusung memang perlu diperhatikan. Hanya saja, kepentingan parpol asal capres di Pilpres 2024 harus tetap dijaga.
Soliditas koalisi
Posisi cawapres di Pilpres 2019 ini menjadi semakin penting mengingat kedua capres ingin menjaga soliditas koalisi.
Jika tidak bisa memuaskan semua pihak, setidaknya bisa meminimalisir ketidakpuasan dari semua pihak. Bila ada yang tidak puas, bisa saja ada parpol pendukung yang beralih ke kubu sebelah, bahkan membentuk poros baru. Pembentukan poros baru ini tentu saja dihindari kedua kubu capres.
Untuk kubu Jokowi, pembentukan poros baru membuat situasi persaingan menjadi semakin tidak pasti dan lebih sulit untuk diprediksi.
Kalaupun kompetitornya tetap Prabowo, sesulit apa pun bagi kubu Jokowi, setidaknya lebih mudah untuk diprediksi gerak-geriknya. Dan, bagaimanapun, satu pesaing lebih mudah dihadapi daripada dua pesaing.
Adapun bagi Prabowo, kebersamaan dengan PKS dan juga PAN sangat sayang untuk dilepaskan. Soliditas Gerindra-PKS dalam beberapa kesempatan terbukti membuahkan hasil positif. Apalagi PKS sangat dikenal dengan kader-kadernya yang sangat militan.
Di sisi lain, hilangnya Demokrat dari pengusung Prabowo, bakal membuat kemenangan semakin menjauh. Demokrat punya pengalaman dua kali memenangi pilpres dan figur Presiden Republik Indonesia selama dua periode, Susilo Bambang Yudhoyono.
Kemenangan di level pilpres dan pengalaman SBY sebagai presiden itu merupakan missing pieces bagi kubu Prabowo di 2014. Belum lagi jika mempertimbangkan faktor AHY, pemimpin baru di Demokrat yang menjadi magnet bagi pemilih muda dan kaum hawa.
Penentu hasil?
Dari uraian di atas, peran cawapres di Pilpres 2019 bakal berbeda dibandingkan dengan berbagai pilpres sebelum ini.
Jika sebelumnya lebih dominan pada fungsi komplementer dalam konteks representasi (Jawa-luar Jawa, sipil-militer, nasionalis-religius) dan kompetensi (birokrat-non birokrat, ahli polkam-ahli ekonomi, politisi-profesional), dalam Pilpres 2019 sepertinya figur cawapres bakal menjadi penentu hasil. Wajar jika kali ini disebut sebagai pilpres rasa pilwapres.
Jokowi dan Prabowo selaku capres hampir tidak lagi memiliki "senjata rahasia" atau "rahasia kelam" yang bisa dieksploitasi.
Jika "serangan" ke Jokowi dan Prabowo menggunakan isu-isu yang digunakan pada Pilpres 2014, pemilih bakal mendengarnya sebagai "kaset rusak" yang diputar berulang kali.
Maksud hati mereguk simpati, apa daya antipati yang bakal didapat jika kedua belah pihak masih bermain di tataran narasi yang sama dengan 2014 lalu.
Untuk itu, tim pemenangan kedua kubu mesti lebih kreatif dalam mengayun narasi. Dan, sosok cawapres haruslah dieksploitasi secara optimal mengingat jejak rekam Ma'ruf Amin dan Sandiaga S Uno dapat dengan mudah kita dapatkan. Kompetensi keduanya pun sudah teruji di bidangnya masing-masing.
Tinggal publik yang bakal memilih. Mana yang dirasa pilihan terbaik untuk bangsa dan negara ini untuk periode 2019-2024. Apakah Joko Widodo-Ma'ruf Amin, ataukah Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.