Elektabilitas partai
Para elite parpol Indonesia meyakini adanya coattail effect atau down-ballot effect di Pilpres 2019.
Terminologi ini menjelaskan mengenai kecenderungan pemimpin partai politik yang populer bakal bisa menarik pemilih untuk memilih kandidat dari partai yang sama di pemilu.
Di Amerika Serikat, misalnya, partai yang memiliki kandidat presiden populer dan berpeluang besar menang seringkali memenangkan banyak kursi di Kongres.
Untuk Indonesia, diprediksi bakal ada tendensi yang sama di Pilpres dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Parpol yang kadernya masuk di dalam kertas suara sebagai capres atau cawapres diyakini memiliki peluang lebih tinggi untuk dipilih publik di Pileg 2019.
Ada beberapa pemikiran yang mendasarinya. Pertama, capres dan cawapres bakal mendapatkan publikasi luas dan menjadi pusat sorotan media maupun publik.
Dengan sendirinya, partai asal capres atau cawapres bakal dipublikasi juga secara luas. Aspek populeritas parpol pun bakal terkerek dengan sendirinya. Semakin populer calon, semakin populer pula parpolnya.
Kedua, dengan modal populeritas, lebih mudah bagi parpol dan para caleg parpol tersebut untuk meningkatkan elektabilitasnya. Apalagi jika capres dan cawapres kader parpol yang bersangkutan sering mendapatkan sentimen positif dari publik.
Ada kemungkinan parpol dan para caleg parpolnya ikut mendapatkan imbas. Elektabilitas parpol pun besar kemungkinan ikut terangkat.
Belum lagi mempertimbangkan aspek teknis ketika pemungutan suara. Pada saat bersamaan, pemilih mesti memilih di lima kertas suara, yaitu kertas suara capres-cawapres, DPD RI, DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Parpol yang kadernya menjadi capres/cawapres di satu kertas suara lebih banyak dibandingkan parpol lain yang kadernya tidak menjadi capres/cawapres.
Apalagi ada kecenderungan para pemilih bakal mencoblos kertas suara capres/cawapres terlebih dahulu. Ini diprediksi bakal jadi keuntungan untuk parpol yang kadernya menjadi capres/cawapres. Hanya, tentu saja, perlu penelitian lebih lanjut mengenai ini.
Dengan posisi capres yang sudah pasti, yaitu Jokowi dan Prabowo, wajar jika posisi cawapres menjadi rebutan partai-partai pengusung.
Persiapan Pilpres 2024
Faktor ketiga mengapa posisi cawapres di Pilpres 2019 sangatlah "seksi" adalah kepentingan para parpol koalisi di Pilpres 2024.
Bagi pendukung Jokowi, posisi cawapres sangatlah strategis mengingat jika terpilih di 2019, Jokowi tidak bisa maju lagi sebagai presiden di 2024.
Dengan kata lain, tahun 2024 tidak ada lagi petahana. Di sinilah keuntungan yang bakal didapatkan cawapres. Jika Jokowi terpilih, cawapresnya bakal ikut mendapatkan ekspose luar biasa dan gratis selama lima tahun.
Selain itu, jika presidennya sukses, wapres ikut mendapatkan sentimen positif. Secara politis, wapres di 2019-2024 memiliki peluang terbesar terpilih sebagai presiden di Pilpres 2024.
Begitu pula di kubu Prabowo. Jika terpilih tahun depan, Prabowo sebetulnya masih bisa maju lagi di Pilpres 2024. Namun, sempat beredar selentingan kabar bahwa Prabowo hanya berniat meletakkan fondasi pembangunan negara ini selama lima tahun dan mempersiapkan generasi yang lebih muda untuk maju di Pilpres 2024.
Dengan begitu, peluang cawapres Prabowo pada 2019 untuk terpilih sebagai capres di Pilpres 2024 sangatlah besar.
Karena itu, "pertarungan" memperebutkan kursi cawapres di kedua belah pihak berlangsung sangat sengit. Tiap parpol anggota koalisi berusaha mengajukan calon dari masing-masing partai.
Di kubu petahana, misalnya, sebelum deklarasi cawapres resmi dilakukan pada 9 Agustus 2018, hampir setiap parpol mengajukan calonnya.
PKB mengajukan ketua umumnya, Muhaimin Iskandar. PPP memunculkan Romahurmuziy, ketua umumnya. Yang lain pun tak mau ketinggalan, ada nama Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto yang diusulkan ke Jokowi.