JAKARTA, KOMPAS.com - Di Talikuran, Minahasa, Sulawesi Selatan, terdapat patung dua orang laki-laki yang berdiri di atas kamera. Dua orang laki-laki itu adalah Frans Soemarto Mendur dan Alex Impurung Mendur.
Kakak-beradik Mendur itu merupakan wartawan yang berjasa dalam mengabadikan peristiwa bersejarah bangsa Indonesia, yaitu Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Patung tersebut berada di depan rumah panggung, yang merupakan rumah adat Minahasa. Rumah dan patung itu merupakan bagian dari Tugu Pers Mendur, yang menjadi penghormatan atas jasa Frans Mendur dan Alex Mendur.
Di dalam rumah yang menjadi museum tersebut juga terpajang 113 karya Mendur bersaudara.
Perjalanan bersejarah mereka memang tidak mudah. Sebuah perjuangan yang menjadikan nyawa sebagai taruhannya.
Baca juga: Detik-detik yang Menegangkan, Drama Saat Penyusunan Teks Proklamasi...
Detik-detik Proklamasi
Pada 16 Agustus 1945 malam, Frans Mendur yang saat itu merupakan wartawan harian Asia Raya, mendapatkan kabar bahwa proklamasi kemerdekaan akan dilangsungkan esok hari.
Frans kemudian berangkat menuju rumah Presiden Soekarno dengan berbekal kamera Leica dan sebuah rol film. Ia sebetulnya pergi dengan penuh keraguan.
"Saya sendiri semula tak percaya," tutur Frans, seperti dituliskan Hendri F Isnaeni, dalam buku 17-8-1945: Fakta, Drama, Misteri (2015).
Frans mulai meyakinkan diri mengenai kebenaran informasi itu ketika melihat banyak orang yang berkumpul di depan rumah yang menjadi tempat tinggal Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, yang kini menjadi Jalan Proklamasi.
Di rumah itu, terlihat juga sejumlah tokoh nasional, yang menurut Frans, terlihat berunding dengan Soekarno dan Mohammad Hatta.
Baca juga: Kisah Upacara Proklamasi di Pegangsaan Timur 56 dan Prapatan 10
Proklamasi kemerdekaan
Menjelang pukul 10.00 WIB, Soekarno-Hatta dan tokoh nasional lainnya keluar dari rumah.
Para hadirin diberi aba-aba untuk berdiri. Teriakan “Hidup Indonesia!” dan “Indonesia Merdeka!” bergemuruh menyambut babak baru bagi Tanah Air.
Kemudian, berkumandanglah teks proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno. Teriakan "Merdeka!" semakin membahana, bersamaan dengan sorak-sorai hadirin yang menggambarkan semangat pemuda bangsa menyambut kemerdekaan.
Suasana yang sangat emosional tersebut bahkan membuat Frans nyaris lupa menjepretkan kameranya karena terbawa emosi.
Setelah pembacaan teks proklamasi tersebut, mereka belum dapat menghirup napas lega. Sebab, tentara Jepang memburu mereka.
Hasil foto sang kakak yang merupakan kepala bagian foto kantor berita Domei, Alex Mendur, tidak terselamatkan karena telah dirampas oleh pemerintah Jepang setelah proklamasi.
Berdasarkan pengakuan Frans dalam wawancara dengan wartawan Soebagijo IN pada tahun 1960-an, ia melihat sendiri ketika tustel (perangkat untuk memotret) milik Alex dirampas oleh tentara Jepang.
Beruntung, Frans sempat menyembunyikan negatif film hasil jepretannya. Menurut Frans dalam wawancara yang sama dengan Soebagijo, ia mengubur rol film itu di kebun kantornya.
Baca juga: Kisah Upacara Proklamasi di Pegangsaan Timur 56 dan Prapatan 10
Kalau sampai tertangkap, hukuman yang menunggu mereka adalah dijebloskan ke penjara atau hukuman mati.
Kegigihan serta nasionalisme Frans dan Alex yang tinggi membuat kita dapat turut menyaksikan momentum ketika Soekarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia, menyatakan kemerdekaan.
Frans berhasil menjepret tiga foto yaitu, saat Soekarno membacakan teks proklamasi, pengibaran bendera merah putih oleh anggota Pembela Tanah Air (PETA) Latief Hendradiningrat, dan suasana upacara pengibaran bendera Merah Putih.