JAKARTA, KOMPAS.com - Membanggakan rasanya jika melihat Merah Putih memenuhi stadion atau tempat-tempat pertandingan olahraga. Kenyataannya, warna bendera pusaka itu mampu mengobarkan semangat bangsa Indonesia.
Bendera memang bukan cuma soal identitas bagi Bangsa Indonesia. Warna Merah Putih yang dipilih menjadi lambang negara tersebut punya filosofi dan nilai historis yang panjang. Bahkan jauh sebelum sang Proklamator mengumumkan kemerdekaan Indonesia.
Bondan Winarno dalam bukunya “Berkibarlah Benderaku-Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka” menjelaskan bahwa bendera Merah Putih berkibar pertama kali sebagai bendera kebangsaan pada 28 Oktober 1928. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi hal itu.
Baca juga: 73 Tahun yang Lalu, dari Pegangsaan Timur 56 untuk Indonesia Merdeka
Sekalipun kemerdekaan baru diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kelahiran Bangsa Indonesia diyakini telah terjadi pada saat digelarnya Sumpah Pemuda tepat pada 28 Oktober 1928. Ketika itu, para pemuda menyatakan berbahasa satu, berbangsa satu, dan bertumpah darah satu, Indonesia.
Selain itu, dalam Sumpah Pemuda itu bangsa Indonesia sudah memiliki bendera Merah Putih. Bahkan, untuk pertama kalinya lagu kebangsaan “Indonesia Raya” ciptaan wartawan Wage Rudolf Supratman diperdengarkan.
Kepercayaan soal bulan dan matahari
Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sejak enam millennium yang lalu telah melakukan pemujaan terhadap bulan dan matahari. Adapun, matahari melambangkan warna merah, sedangkan bulan melambangkan warna putih.
Sebenarnya tak sulit meyakini hal tersebut. Apalagi jika dibandingkan dengan bendera Jepang berupa bulatan merah di atas warna putih. Bendera Jepang sendiri mendapat julukan “Matahari Terbit”.
Baca juga: Kisah Tiga Pengibar Merah Putih Saat Proklamasi 17 Agustus 1945
Beberapa negara juga menggunakan warna dasar merah dan putih dalam bendera kebangsaannya. Sebut saja, Swiss, Polandia, Singapura, dan Austria. Hal ini setidaknya membuktikan bahwa pemujaan matahari dan rembulan yang kemudian diasosiasikan dengan warna merah dan putih telah menjadi sebuah teori universal.
Salah satu bukti yang mendukung kajian Yamin adalah hadirnya ukiran pada dinding Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9. Ukiran tersebut menggambarkan tiga orang hulubalang yang membawa umbul-umbul berwarna gelap dan terang. Keterangan pada ukiran itu menyebutnya sebagai pataka atau bendera.
Tak cuma itu, catatan lain di sekitar Borobudur juga sering menyebut bunga tanjung mabang (merah) dan tunjung maputeh (putih). Yamin dengan rajin mengumpulkan bukti sejarah yang mengaitkan pemujaan terhadap lambang merah dan putih di setiap celah budaya Nusantara.
Gula Kelapa
Warna merah dan putih juga muncul dalam mitologi Jawa. Merah melambangkan amarah, sedangkan putih sebagai lambang mutmainah atau nafsu. Keraton Susuhunan Paku Buwono di Solo menggunakan simbolisasi Timur-Selatan yang dilambangkan dengan warna gula-kelapa, atau merah-putih.
Warna merah dan putih tidak hanya dipakai sebagai lambang penting oleh Kerajaan Mataram. Pada abad ke16, dua bilah cincin dengan permata merah dan putih diwariskan oleh Raja Majapahit kepada Ratu Jepara yang bernama Kalinyamat.
Baca juga: Sayuti Melik, Pengetik Teks Proklamasi
Selain itu, pada abad ke-19, perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dimulai dengan barisan rakyat yang mengibarkan umbul-umbul merah-putih dan menghunus senjata.
Sementara itu, di lereng Gunung Merapi, umbul-umbul merah putih terus dikibarkan. Rakyat berkeyakinan bahwa merah-putih adalah pelindung mereka dari bahaya.
Masih pada abad ke-19, para pemimpin dan pengikut gerakanPaderi di Sumatera Barat, banyak yang mengenakan sorban berwarna merah-putih. Kedua warna itu untuk menandai gerakan perlawanan kaum Paderi terhadap Belanda.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.