JAKARTA, KOMPAS.com - Para sekjen partai koalisi pengusung Presiden Joko Widodo memprediksi isu ekonomi akan menjadi senjata utama oposisi untuk mengkritik di masa kampanye nanti. Hal itu disampaikan sejumlah sekjen partai yang tergabung dalam koalisi pengusung pasangan bakal capres dan cawapres Jokowi-Ma'ruf Amin.
Sekjen PKB Abdul Kadir Karding menyatakan saat ini oposisi tak bisa lagi menggunakan isu agama untuk menyerang Jokowi. Sebab, kata Karding, saat ini Jokowi telah didampingi Ma'ruf sebagai cawapresnya. Menurut Karding, Ma'ruf telah merepresentasikan sosok ulama dalam koalisi Jokowi.
"Jadi bagi kami, kami melayani isu ekonomi. Tapi kenapa harus isu ekonomi? Bukankah selama ini narasi agama sebagai isu politik itu selalu dari pihak-pihak lain? Ketika sekarang Kiai Ma'ruf dipilih Pak Jokowi, Maka narasi soal serangan keagamaan itu tidak bisa lagi," kata Karding di sela pelatihan juru bicara tim kampanye nasional pasangan Jokowi-Ma'ruf di Hotel Oria, Menteng, Jakarta, Senin (13/8/2018).
Hal senada disampaikan Sekjen PPP, Arsul Sani.
Baca juga: Jokowi-Maruf Amin Akan Elaborasi Ekonomi Syariah ke Nawacita II
"Iya (isu ekonomi)," kata Arsul saat ditanya isu apa yang akan sering digunakan oposisi untuk menyerang pemerintah.
Namun, Arsul mengatakan Koalisi Indonesia Kerja yang terdiri dari PDI-P, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, Hanura, Perindo, PSI, dan PKPI tak khawatir dengan serangan oposisi atas kinerja pemerintah di bidang ekonomi.
Ia mengatakan tim mereka sudah melatih para juru bicara untuk menjawab serangan oposisi yang menggunakan isu ekonomi.
Baca juga: Tim Kampanye Jokowi Siap Perang Data Ekonomi dengan Tim Prabowo
Ia memprediksi salah satu hal yang akan sering digunakan oposisi untuk menyerang pemerintah adalah utang luar negeri.
"Saya kira kalau kita nikmati selama 3-4 hari sejak pengumuman cawapres itu, kan serangannya hoaks. Dan itu yang paling banyak kan itu, utang luar negeri segala macem," ucap Arsul.
"Nah kita bicara utang luar negeri itu kan ada teori ekonominya. Itu kan bukan sesuatu yang hanya dilihat dari jumlah angka utang. Tapi kan harus diversuskan dengan produk domestik bruto dan lainnya," lanjut dia.