JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Politik Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) Esty Ekawati menuturkan, politisasi suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dan identitas berpotensi menghambat penyelenggaraan pemilu serentak 2019.
Menurut Esty, politisasi SARA juga akan berdampak pada konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Hal tersebut Esty paparkan dalam Sosialisasi Hasil Survei Ahli 2018 yang bertema "Pemetaan Kondisi Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan dan Keamanan: Menjelang Pemilu Serentak 2019" di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Selasa (7/8/2018).
“Sebanyak 72,41 persen ahli menjawab ada (potensi menghambat penyelenggaraan pemilu), contohnya yakni politisasi SARA dan identitas, konflik horizontal antar pendukung calon, gangguan keamanan, kekurangsiapan penyelenggaraan pemilu, ketidaknetralan penyelenggaraan pemilu, dan lain-lain,” papar Esty.
Baca juga: Evaluasi Pilkada 2018, Komnas HAM Temukan Konflik Berlatar SARA
Menurut survei yang dilakukan LIPI, potensi politisasi SARA dan identitas sebesar 23,6 persen; konflik horizontal antar pendukung paslon sebesar 12,3 persen; gangguan keamanan 10,4 persen, kekurangsiapan penyelenggara pemilu 6,6 persen; ketidaknetralan penyelenggara Pemilu sebesar 5,7 persen.
Selain itu, Esty memaparkan potensi masalah yang muncul dalam pemilu 2019 lainnya adalah sengketa hasil pemilu sebesar 76,6 persen; ketidaknetralan birokrasi sebesar 66,2; tidak menggunakan hak suara 53,1 persen; penggunaan kekerasan dalam pemilu 32,4 persen.
Survei ahli yang dilakukan oleh Tim Peneliti Pusat Penelitian Politik (LIPI) dilaksanakan di 11 provinsi di Indonesia dengan responden sebanyak 145 orang terdiri dari ahli politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan yang berasal dari para akdemisi,aktivis, jurnalis, tokoh masyarakat, serta anggota kelompok profesi.
Survei ini menggunakan teknik non-probability sampling yakni dengan menerapkan teknik purposive sampling, dimana sampel sumber data (ahli) dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria tertentu.