JAKARTA, KOMPAS.com - Penolakan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk mengundangkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengatur larangan mantan narapidana kasus korupsi ikut Pileg 2019 dianggap merusak citra positif Presiden Joko Widodo.
Hal itu diungkapkan Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai ketika dihubungi, Jumat (22/6/2018).
"Sayang sekali kalau PKPU itu (terus) ditolak dan tidak segera diundangkan, akan membuat citra pemerintahan Jokowi itu seolah-olah tidak peduli dengan pemberantasan korupsi," kata Haris.
Baca juga: Penolakan Kemenkumham terhadap PKPU Kontraproduktif bagi Pemerintahan Jokowi
Padahal, seharusnya Kemenkumham tugasnya hanya mengundangkan PKPU tersebut menjadi peraturan perundang-undangan dalam lembaran negara dan berita negara.
"Jadi tidak tepat kalau itu ditolak, tidak segera (diudangkan) oleh Kemenkumham," tegas Haris.
Apalagi, PKPU tersebut penting dan dibutuhkan sebagai wujud komitmen pemerintah melalui penyelenggara Pemilu untuk menghadirkan calon-calon wakil rakyat yang bersih pada Pileg 2019 mendatang'.
Baca juga: ICW Minta Kemenkumham Segera Sahkan PKPU soal Larangan Eks Koruptor Jadi Caleg
"Itu komitmen untuk menegakkan pemerintahan yang bersih, sebab pemerintahan yang bersih itu harus dimulai dengan kandidat yang bersih. Jadi penting sekali, walaupun di dalam Undang-undang Pemilu belum diwadahi secara eksplisit," terang Haris.
Penolakan Kemenkumham untuk segera memproses PKPU tersebut pun dianggap dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan Pemilu di Tanah Air.
"Kalau ditunda terus pengundangan PKPU-nya kan menimbulkan ketidakpastian hukum, pemerintahan dirugikan karena tidak memfasilitasi tahapan pemilu sesuai jadwal," kata Haris.
Baca juga: Cegah Penyanderaan PKPU Terulang, Permen Diusulkan Dihapus
Sebelumnya, Kemenkumham menegaskan, PKPU tersebut tak juga diundangkan menjadi peraturan perundang-undangan karena materinya bertentangan.
"Materinya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan peraturan yang lebih tinggi. Itu pangkal masalahnya," kata Direktur Jenderal Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana melalui pesan singkatnya, Kamis (21/6/2018).
Kemenkumham memahami setiap Kementerian/Lembaga punya wewenang dan dasar hukum untuk membuat regulasi. Hanya, regulasi itu tak boleh bertentangan dengan putusan MK dan peraturan yang lebih tinggi.
Baca juga: Refly: Kemenkumham Tak Perlu Ikut Campur Substansi PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg
"Lah terus kami menyelenggarakan pemerintahan bagaimana? Pasti akan kacau karena dengan dalih 'kami punya kewenangan untuk buat aturan'. Tapi dengan sengaja buat aturan yang menabrak putusan MK atau peraturan yang lebih tinggi," tegas Widodo.
Hak mantan koruptor
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jokowi Tegaskan Mantan Napi Koruptor Punya Hak jadi Caleg", https://nasional.kompas.com/read/2018/05/29/18143281/jokowi-tegaskan-mantan-napi-koruptor-punya-hak-jadi-caleg.
Penulis : Ihsanuddin
Editor : Sabrina Asril
Presiden Jokowi sebelumnya menegaskan, mantan narapidana kasus korupsi punya hak untuk mencalonkan diri dalam pemilu legislatif.
"Kalau saya, itu hak. Hak seseorang berpolitik," kata Jokowi di Jakarta, Selasa (29/5/2018), mengomentari polemik aturan larangan mantan koruptor jadi caleg.
Baca juga: Jokowi Tegaskan Mantan Napi Koruptor Punya Hak jadi Caleg
Jokowi mengatakan, konstitusi sudah menjamin untuk memberikan hak kepada seluruh warga negara untuk berpolitik, termasuk mantan napi kasus korupsi.
Jokowi mengakui adalah wilayah KPU untuk membuat aturan. Namun, Jokowi menyarankan agar KPU melakukan telaah lagi.
"Silakan lah KPU menelaah. KPU bisa saja mungkin membuat aturan. Misalnya boleh ikut tapi diberi tanda 'mantan koruptor'," kata Jokowi.