Penggunaan kapal ini sudah turun temurun mulai dari Paku Buwono IV sampai Paku Buwono IX.
Saat sebelum diangkat menjadi Paku Buwono IX, Pangeran Adipati Anom mempergunakan kapal tersebut untuk menjemput Puteri Pamekasan Madura.
Kapal itu juga pernah digunakan untuk menjemput Puteri Sultan Cakraningrat dari Bangkalan, Madura, yang hendak diperistri oleh Paku Buwono VII.
Ketika iring-iringan pengantin, Kiai Rodjomolo dihiasi oleh berbagai umbul-umbul, panji-panji, bendera-gula kepala, dan bunyi gamelan saat melewati Bengawan Solo.
Di sepanjang Bengawan Solo, masyarakat menyambut dengan antusias.
Pada akhir abad 19, Bengawan Solo sering mengalami banjir. Ada yang menderita karena banjir, ada pula yang merasa gembira.
Kegembiraan tersebut karena bisa menaiki Kapal Rodjomolo ke dalam kota, mengingat air masuk dan menggenangi hingga wilayah perkotaan.
Secara formalitas, orang-orang keraton memberikan ransum kepada korban banjir dengan manaiki Kapal Rodjomolo.
Setelah peristiwa banjir di Bengawan Solo, muncullah juru selam, juru mudi, dan juru dayung.
Aliran Bengawan Solo kemudian digeser agak ke timur menjelang memasuki kota.
Ketika itu, dibangun pengaman di tepi kota bagian selatan dan timur untuk mencegah banjir.
Dengan adanya tanggul dan hilangnya banjir, berakhirlah tugas Kapal Rodjomolo. Setelah itu, canthik kapal dicopot dan disimpan sebagai simbol kemegahan.
Hingga saat ini, chantik kepala tersebut disimpan di Museum Keraton Surakarta dan di Museum Radya Pustaka.
Pada hari tertentu, selalu diberi sesaji lengkap dengan tujuan menghormati penunggu canthik perahu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.