JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) Arsul Sani mengungkapkan beberapa hal yang menyebabkan lamanya pembahasan RUU tersebut.
Menurut Arsul, proses pembahasan RUU Antiterorisme yang diusulkan pemerintah pasca-peristiwa teror bom di kawasan Thamrin pada awal 2016 tidak bisa dilepaskan dari situasi psikologis masyarakat.
Saat itu, kata Arsul, masyarakat sangat geram dengan aksi teror yang terjadi. Namun, di sisi lain masyarakat juga geram dengan praktik penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh Polri, khususnya Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
Situasi tersebut membuat pembahasan menjadi lebih berhati-hati untuk menghindari adanya pasal yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
"Jadi situasinya seperti itu. Di satu sisi ada kegeraman kepada teroris, tapi di sisi lain ada kegeraman juga terhadap polisi," ujar Arsul dalam sebuah diskusi di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Baca juga: PKS: Kemenkumham Berkali-Kali Minta Pembahasan RUU Antiterorisme Ditunda
Pada proses pembahasannya, lanjut Arsul, Komisi III juga menyoroti kinerja Polri. Pasalnya, berdasarkan laporan Komnas HAM, ada 122 terduga teroris yang ditembak mati tanpa bisa dijelaskan apakah orang itu benar anggota jaringan teroris atau bukan.
Pembahasan pun berlarut-larut karena Pansus RUU Antiterorisme banyak mendapat masukan dari berbagai elemen masyarakat sipil.
Selama dua masa sidang sebelumnya, pansus hanya menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) untuk mendapat masukan dari masyarakat.
"Jadi kenapa ini lama ya memang karena dari sisi nature-nya di negara mana pun itu tidak akan pernah bisa cepat. Kedua, UU ini, secara kuantitatif, aspirasi masyarakatnya jauh lebih banyak bahkan dibandingkan dengan RKUHP," kata Arsul.
Baca juga: Ansyaad Mbai: RUU Antiterorisme Sebuah Kebutuhan
Arsul mencontohkan "pasal Guantanamo" yang sempat ada dalam draf RUU Antiterorisme.
Awalnya, Pasal 43A draf Revisi UU Antiterorisme mengatur soal kewenangan penyidik maupun penuntut untuk menahan seseorang yang diduga terkait kelompok teroris selama enam bulan.
Pasal 43 A, disebut dengan istilah "Pasal Guantanamo", merujuk pada nama penjara milik Amerika Serikat di wilayah Kuba, di mana ratusan orang ditangkap dan disembunyikan karena diduga terkait jaringan teroris.
Pasal baru itu dianggap sarat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan menunjukkan ketidakmampuan penyidik dalam melakukan pengusutan dalam waktu cepat. Akhirnya pasal tersebut dihapuskan.
"Itu yang kemudian membuat ramai. Masyarakat juga tidak ingin UU ini membuka peluang pelanggaran HAM. Faktanya di saat itu aspirasinya seperti itu. Sehingga pembahasan pasal-pasal pidana materiil itu, termasuk juga adanya perdebatan pasal-pasal yang menyangkut penyebaran ajaran radikalisme," tutur Arsul.
Baca juga: Pemerintah-DPR Sepakat Hapus "Pasal Guantanamo" dari RUU Antiterorisme