Hasil Survei Kemitraan mengenai Demokrasi, Toleransi, dan Kebangsaan 2017 terhadap 4.905 tokoh daerah menunjukkan pergeseran jarak sosial (social distance).
Sebanyak 28 persen responden menyatakan tidak perlu memberikan selamat pada pemeluk agama berbeda saat mereka merayakan hari raya.
Angka 28 persen ini termasuk tinggi karena responden adalah para tokoh, pemimpin, dan pemegang keputusan yang memegang posisi-posisi strategis di daerah.
Pergeseran ini yang perlu direspons sesegera mungkin dengan wacana besar tentang keberagamaan yang masuk ke sendi-sendi pendidikan, sosial, kesehatan, dan keseharian rakyat Indonesia.
Nilai-nilai demokrasi telah diperalat. Logika umum diputar balik demi kepentingan politik dengan mengatasnamakan agama tertentu atau bahkan kelompok radikal dan ekstremis.
Ini pertanda tujuan mereka hanya satu, yaitu menghancurkan sendi-sendi utama sebuah negara. Ketika hal tersebut luluh lantak, maka mereka akan mengambil alih dan menerapkan hukum rimba untuk menyerap semua sumber daya demi kepentingan mereka sendiri.
Sejak tahun 2005, beberapa studi telah memperlihatkan bahwa strategi operasi terorisme telah berubah dari distant enemy menjadi near enemy, yaitu negara.
Strateginya adalah memecah-belah antara kamu dan aku, kafir dan non-kafir, rakyat dan negara, dizalimi dan terzalimi, asing-pribumi, dan semua dikotomi yang mampu membangkitkan rasa amarah dan kekacauan antarkelompok.
Menangkan HAM bangsa dan negara
Efek jera harus diberikan kepada otak pelaku teror. Para aktivis HAM tentu akan mengatakan bahwa tindakan keras atau opresif akan menyebabkan kekerasan kembali. Tetapi, hal yang patut diingat adalah: kasus terorisme memiliki risiko kekerasan terhadap negara dan bangsa.
Jika negara tidak melakukan tindakan tegas, maka yang akan menjadi korban adalah seluruh rakyat Indonesia.
Sekali lagi, kita harus menaruh konteks HAM pada tataran yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa dan negara, bukan dengan cara memperalat argumen HAM sesuai kepentingan politik jangka pendek atau agenda ganti rezim.
HAM harus selalu memenangkan kepentingan bangsa dan NKRI, bukan kepentingan parpol, kelompok tertentu atau afiliasinya yang berniat untuk berkuasa.
Karenanya, dalam kasus melawan intoleransi, radikalisme, dan terorisme, konstitusi Negara Republik Indonesia harus selalu ditegakkan.
Kelima polisi yang telah gugur dan 10 warga negara yang menjadi korban jiwa adalah simbol kedaulatan negara dan rakyat Indonesia.
Tidak ada yang bisa menggoyang sendi-sendi ini selama kita semua meyakini dan menjalin semangat dalam khasanah keberagaman Bhinneka Tunggal Ika berbasis Pancasila. Kami bersama NKRI!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.