Kejadian yang sama terjadi di negara-negara yang sekarang sudah luluh lantak, seperti Suriah, Tunisia, Mesir, dan Filipina (Marawi).
Di sana, sel-sel tidur kelompok teroris ISIS telah bangkit dan menyatu dengan warga. Sel-sel tidur ini adalah orang biasa, orang yang bekerja, berkeliaran, berkendaraan sama seperti warga negara Indonesia, namun hati dan jiwa mereka sudah dirasuki paham radikalisme.
Oleh sebab itu, kasus terorisme tidak bisa disamakan dengan kejahatan biasa, baik dari aspek pencegahan maupun penindakannya. Pencegahan harus dimulai dari bentuk awalnya, yaitu intoleransi.
Pencegahan wacana intoleransi
Hasil survei Kemitraan terhadap 4.905 tokoh di 70 daerah wilayah kabupaten/kota (data persepsi diambil bulan April-Juni 2017) menunjukkan bahwa 88 persen responden mendukung Polri dan pemerintah untuk menindak tegas kelompok-kelompok intoleran, radikalisme dan ekstrimisme.
Namun, definisi peraturan belum menyentuh ke area pencegahan. Lantas, bagaimana pencegahan dapat dilakukan?
Hal ini dapat dimulai dari pengetatan regulasi media, terutama media sosial. Dampak media konvensional dan media sosial terhadap merebaknya kasus radikalisme masih dianggap sebelah mata.
Sekali pesan atau ujaran kebencian disebarkan oleh seorang tokoh di acara-acara TV, maka hal tersebut langsung tersebar ke seluruh pelosok negeri. Intensitas ujaran atau ajaran yang menyesatkan, baik di grup tertutup dan terbuka, inilah yang harus dicegah.
Tetapi sekali lagi, kelompok pembela HAM akan mengkritik bahwa regulasi yang lebih ketat akan memasung HAM. Pertanyaannya, HAM siapa yang sedang dibela?
Dalam menghadapi fenomena radikalisme dan terorisme, maka diperlukan regulasi khusus untuk mencegah risiko yang lebih tinggi.
Mengawasi sudah bukan jalan keluar. Kebijakan post facto, yang hanya bisa berubah ketika korban berjatuhan, sudah tidak bisa diterapkan jika kita masih menginginkan Indonesia aman dan sejahtera, terutama menjelang Pemilu 2019.
Negara harus mengeluarkan kebijakan terkait pelarangan, pengetatan, dan pengawasan, dan pemberian sanksi berat terhadap media dan media sosial yang turut menyebarkan ujaran kebencian.
Skandal Cambridge Analytica telah menunjukkan bahwa kondisi sosial politik dapat berubah dan diatur sedemikian rupa sehingga memenangkan satu pihak melalui algoritma media sosial, dalam hal ini Facebook.
Penyebaran ujaran kebencian adalah isu permukaan yang mengandung begitu banyak efek negatif yang menyentuh sendi-sendi sosial dan melemahkan kohesi sosial.
HAM yang diperalat politik