JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali tak sepakat dengan wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD lewat revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Menurut Amali, perubahan sistem pilkada belum tentu menjadi solusi dalam menuntaskan berbagai persoalan yang dihadapi dalam pilkada secara langsung.
Sejumlah pihak berpendapat pilkada secara langsung menyebabkan tingginya biaya politik dan munculnya politik uang (money politic).
"Memang siapa yang bisa menjamin kalau di DPRD enggak ada money politic? Dengan sistem apapun money politik akan tetap ada. Tidak ada yang menjamin kalau di DPRD tidak ada money politic," ujar Amali saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (11/4/2018).
Amali menilai seharusnya partai politik yang memiliki kewajiban untuk membenahi proses mekanisme perekrutan calon kepala daerah, agar menghasilkan pemimpin yang tidak bermasalah politik uang dan persoalan hukum lainnya.
Baca juga : Pilkada Lewat DPRD Dinilai Tak Atasi Politik Uang, Ini Saran Perludem
Terkait soal tingginya biaya penyelenggaran pilkada, kata dia, pemerintah bisa memangkas anggaran yang dianggap tidak perlu.
"Jadi menurut saya bukan soal sistem pilkadanya yang salah. Daripada kita kembali, kita perbaiki saja sistem yang ada," kata politisi Partai Golkar itu.
"Saya meyakini bahwa pilkada langsung yang bisa menjamin pelaksanaan demokrasi di negeri kita ini akan terlaksana dengan sebagaimana layaknya sebuah proses demokrasi," ucapnya.
Sebelumnya, pertemuan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Ketua DPR Bambang Soesatyo memunculkan wacana pengembalian pilkada melalui DPRD lewat revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Baca juga : Komisi II: Pilkada Langsung Lebih Baik daripada Dikembalikan ke DPRD
Seusai bertemu, Tjahjo mengatakan, dirinya dan Bambang beserta Pimpinan DPR lain seperti Fahri Hamzah dan Utut Adianto sempat terlibat diskusi mendalam terkait pengembalian pilkada ke DPRD.
"Nah, saya kira ini tahun depan pilkadanya sudah selesai serentak. Pak Ketua (DPR) menawarkan revisi ulang Undang-Undang Pilkada dan nanti akan bisa kami bicarakan," kata Tjahjo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (6/4/2018).
"Pak Ketua (DPR) nanti akan ketemu dengan Bapak Presiden akan ketemu dengan KPU, Bawaslu dan semua pihak yang ada," ujar dia.
Hal senada disampaikan oleh Bambang. Ia mengatakan, banyak masalah yang dihadapi dengan adanya pilkada langsung. Beberapa di antaranya, yakni politik biaya tinggi yang kemudian memunculkan korupsi.
Selain itu, menurut dia, pilkada langsung juga mengotak-ngotakan publik dalam identitas masing-masing golongan sehingga berpotensi memecah belah masyarakat.
"Untuk mendapatkan tiket saja harus mengeluarkan biaya yang luar biasa, belum kampanyenya, belum biaya saksinya. Belum biaya penyelenggaraannya hampir Rp 18 triliun. Nah, kalau itu digunakan untuk biaya pembangunan mungkin itu lebih bermanfaat," kata Bambang.