JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengaku setuju dengan wacana pengembalian pilkada melalui DPRD lewat revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Menurut Zulkifli, seluruh partai di DPR pada 2014 pernah menyepakati agar pilkada melalui DPRD.
Namun, dibatalkan oleh Presiden ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
"Dulu semuanya di DPR kan sudah setuju, cuma SBY keluarkan Perppu. Jadi saya kalau dikembalikan ke DPRD, oke," ujar Zulkifli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/4/2018).
(Baca juga : Pemerintah dan DPR Wacanakan Kembalikan Pilkada Lewat DPRD)
Zulkifli menilai, sistem Pilkada harus diperbaiki untuk menghindari besarnya biaya politik dan maraknya politik uang.
Sementara, partai politik dilarang untuk mencari uang untuk menutup biaya politik dan negara tidak mampu menanggungnya.
Selain itu, Zulkifli menilai, dengan mengembalikan pilkada ke DPRD, maka dapat mengurangi banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Jadi sistemnya harus diperbaiki, kalau tidak diperbaiki kan begini terus," kata Zulkifli.
Wacana pengembalian Pilkada lewat DPR kembali muncul pascabanyaknya kepala daerah tertangkap tangan menjelang Pilkada.
(Baca juga : Komnas HAM: Pilkada lewat DPRD Kecelakaan HAM)
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Ketua DPR Bambang Soesatyo sebelumnya kembali memunculkan wacana pengembalian pilkada melalui DPRD.
Tjahjo mengatakan, dirinya dan Bambang beserta Pimpinan DPR lain seperti Fahri Hamzah dan Utut Adianto sempat terlibat diskusi mendalam terkait pengembalian pilkada ke DPRD.
"Nah, saya kira ini tahun depan pilkadanya sudah selesai serentak. Pak Ketua (DPR) menawarkan revisi ulang Undang-Undang Pilkada dan nanti akan bisa kami bicarakan," kata Tjahjo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (6/4/2018).
"Pak Ketua (DPR) nanti akan ketemu dengan Bapak Presiden akan ketemu dengan KPU, Bawaslu dan semua pihak yang ada," ujar dia.
(Baca juga : Survei LSI: Masyarakat Masih Menginginkan Pilkada Langsung)
Hal senada disampaikan oleh Bambang. Ia mengatakan, banyak masalah yang dihadapi dengan adanya pilkada langsung.
Beberapa di antaranya, yakni politik biaya tinggi yang kemudian memunculkan korupsi.
Selain itu, menurut dia, pilkada langsung juga mengotak-ngotakan publik dalam identitas masing-masing golongan sehingga berpotensi memecah belah masyarakat.
"Untuk mendapatkan tiket saja harus mengeluarkan biaya yang luar biasa, belum kampanyenya, belum biaya saksinya. Belum biaya penyelenggaraannya hampir Rp 18 triliun. Nah, kalau itu digunakan untuk biaya pembangunan mungkin itu lebih bermanfaat," kata Bambang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.