JAKARTA, KOMPAS.com - Lama sudah isu pertahanan atau agraria tenggelam oleh hiruk pikuk dinamika politik. Bahkan dalam perjalanan Indonesia pasca tumbangnya Orde Lama, isu agraria bak tergilas sejarah.
Saat rezim beralih ke Orde Baru, alih-alih diprioritaskan, semua hal yang berbau agraria justru dikait-kaitkan atau dicap komunisme atau Partai Komunis Indonesia (PKI). Termasuk payung hukum agraria yaitu UU Nomor 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria.
Di era reformasi, isu agraria sesekali mencuat. Biasanya muncul jelang pemilu untuk menarik simpati rakyat atau saat konflik agraria jadi tragedi berdarah seperti yang terjadi di Mesuji, Lampung, 2011 silam.
(Baca juga: Geram, Luhut Ancam Bongkar Dosa Orang yang Asal Kritik Pemerintah)
Namun tiba-tiba isu agraria kembali mengemuka. Pecutnya tak lain adalah kritik Amien Rais yang menilai program bagi-bagi sertifikat tanah pemerintahan Jokowi mengada-ada, bohong, atau kata lainnya "ngibul".
Kritik Amin itu lantas membuat kuping pemerintah panas. Tanpa menyebut secara langsung siapa yang dia tuju, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengancam akan membongkar borok pribadi orang yang mengkritik tersebut.
Wakil Ketua Umum PAN Hanafi Rais menuturkan, kritik yang disampaikan Amien justru sejalan dengan reforma agraria yang selama ini menjadi program pemerintah. Amin dinilai mengingatkan pemerintah untuk kembali ke arah reforma agraria.
Sebab, tutur dia, reforma agraria yang dimaksud bukan hanya sekedar bagi-bagi sertifikat tanah. Namun, jauh lebih mulia dari itu yakni mengakhiri ketimpangan kepemilikan tanah yang terjadi hingga saat ini.
Tak Sebatas Pembagian Sertifikat
Di Indonesia, tanah dikategorikan menjadi dua yaitu hutan dan non hutan. Berdasarkan data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), 68 persen tanah di Indonesia masuk kategori hutan atau kawasan hutan.
(Baca juga: Presiden Siap Serahkan 7 Juta Sertifikat Tanah di 2018)
Sementara itu 32 persen sisanya masuk kategori tanah non hutan. Namun 46 persen tanah non hutan tersebut atau 33 juta hektarnya, dikuasai oleh perusahaan perkebunan.
Sisanya kuasai oleh perusahaan properti lewat Hak Guna Usaha (HGU) dan hanya sebagain kecil dikuasai oleh rakyat dalam hal ini para petani.
Minimnya kepemilikan tanah oleh petani bisa dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Dari total 26,14 juta rumah tangga usaha pertanian, sebanyak 56,12 persennya adalah petani yang kepemilikan tanahnya hanya di bawah 0,5 hektar.
Di tengah ketimpangan kepemilikan tanah, reforma agraria adalah jalan ideal yang harus ditempuh. Lantas apakah pemerintahan Jokowi sudah memulai reforma agraria? Jawabannya sudah, namun masih dalam takaran yang sangat minimal.
Kenapa dikatakan minimal? Menurut Ketua Dewan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, sertifikasi tanah dalam kerangka reforma agraria berada dibagian akhir, bukan diletakan di depan seperti keadaan saat ini.
Sejatinya, reforma agraria tidak sebatas bagi-bagi sertifikat tanah.
(Baca juga: Kantor ATR/BPN Kendal Bagikan 43.000 Sertifikat Tanah)
Reforma agraria harus dimulai dengan pendataan tanah secara menyeluruh. Dari situ maka pemerintah akan memiliki gambaran tentang ketimpangan kepemilikan tanah.
Setelah punya gambaran, pemerintah bisa menentukan, siapa yang perlu mendapatkan tanah, siapa yang perlu tanahnya dikurangi akibat kelebihan kepemilikan. Skemanya bisa lewat ganti rugi bila itu tanah hak milik, atau penyerahan langsung kalau itu tanah negara.
Pasca proses tersebut, barulah pemerintah bisa melakukan sertifikasi tanah. Jadi sertifikasi tanah dilakukan pada bagian akhir reforma agraria, bukan di awal.
Apa dampak bila sertifikasi tanah dilakukan di awal? Kebijakan itu justru melegalkan ketimpangan kepemilikan tanah itu sendiri. Bila hal itu terjadi, maka tujuan reforma agraria untuk menyudahi ketimpangan kepemilikan tanah tidak tercapai.
"Bayangkan saya punya 100 meter, kamu punya 100 ribu hektar tanah, sama-sama disertifikat. Bukan kah itu justru melegalkan ketimpangan kepemilikan tanah?," kata Iwan, Rabu (21/3/2018).
Diprioritaskan untuk Rakyat
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengingatkan pentingnya standar luasan tanah bila pemerintah memang berniat melakukan reforma agraria secara menyeluruh.
Jangan sampai, tutur dia, rakyat diberikan sertifikasi tanah namun luas tanahnya tidak ideal atau jauh dari luas minimal 2 hektar tanah garapan untuk petani. Hal ini akan sangat berpengaruh kepada kesejahteraan petani.
(Baca juga: Jokowi Serahkan Sertifikat Tanah Seluas 2,4 Hektare ke Keluarga Tokoh Pers)
Salah satu jalan agar reforma agraria berjalan dan petani mendapatkan luasan lahan yang tidak jauh dari luas minimum yakni dengan melepas kawasan hutan atau tanah yang HGU-nya habis untuk rakyat.
"Tanah itu bisa didistribusikan ke petani yang punya tanahnya kecil-kecil tadi," kata dia.
Saat ini ada 33.000 desa yang berada dalam kawasan hutan. Bila berniat menjalankan reforma agraria, maka pemerintah bisa memulai dengan lepaskan tanah desa itu dari kawasan hutan.
Dengan kondisi saat ini, rakyat di 33.000 desa itu setiap saat bisa terusir dari desanya karena tanahnya masih tanah hutan.
(Baca juga: Menko Darmin: BPN Terbitkan Sertifikat Tanah Lebihi Target 5 Juta)
Kini sudah seharusnya pelepasan kawasan hutan diprioritaskan untuk rakyat, bukan kepada perusahaan perkebunan, pertambangan, atau lainnya.
Dengan berbagai sumbar daya yang ada, mulai dari dana desa Rp 60 triliun per tahun, kredit usaha rakyat (KUR) yang sudah lebih dari Rp 100 triliun, hingga dana pertanian, maka reforma agraria akan menghasilkan dampak besar untuk masyarakat desa.
Desa diyakini tidak akan lagi dikenal sebagai penyuplai tenaga kerja murah ke luar negeri. Indonesia justru bisa melompat jauh dan titik awal lompatan itu berawal dari desa.
Jangan lagi mereduksi reforma agraria sebatas sertifikasi tanah semata. Jadikan kritik sebagai pelecut. Bekerja sungguh-sunguh dan kembalikan reforma agraria ke relnya.